Sabtu, 10 Juli 2010

About SUPER IDOLA !

haihaii .. duh udah lama gg nulis blog . kngen juga *sok! sibuk deh!* hhe .
oiya ak blum blang klo aku tuh ICL ?? alias Idola Cilik Lovers ! malu-maluin yaa pdahal udah klas 3 sma (bntar lagi kuliah loh!) tapi masiiihhh aja suka sma anak-anak! ak mlah gg suka sma band" Indo kyak UNGU, D'MASIV, dll (waa ditimpukin fans'a !!) .. ak lebih suka SUPER IDOLA !! gg tau ?? cari di Google ! atau ak bahas aja yaa ?? wkwk boleh laah ..

Super Idola adalah Band yang dibentuk dari personil IC1, IC2 dan IC3 .. pihak RCTI memutuskan untuk membuat band ini karena mereka melihat ada anak-anak IC yang selian jago nyanyi juga bisa memainkan alat musik ! untuk mengenal mereka lebih dalam inilah para personilnya ....

ANDRYOUS ANDRYANTO (DEBO)


Cowok Juara IC2 asal Bandung yang satu ini punya suara dan cengkok yang khas. Kalo dulu sih waktu pertama masuk IC cengkoknya keliataaaaan banget! Kalo denger suaranya aja pasti ketauan, "Ini pasti Debo!" kataku. Hehehe .. tapi seiring berjalannya waktu, suaranya makin terlatih dan buatku cengkoknya itu bikin suara dia yang hampir 'matang' jadi tambah keren! Dia jadi salah satu Vokalis di SIB.

GABRIEL STEVENT DAMANIK (GABRIEL)




Cool, calm, dewasa, menarik, senyum manis dan wajah 'Innocent'-nya yang membuat dia digilai semua cewek. Cowok yang akrab disapa "Iel" ini merupakan Juara 3 IC1 asal Batam. Suaranya juga termasuk khas, dengan sedikit warna 'rock' yang bisa bikin kita semangat! Tapi, bukan berarti suaranya keras loh! Dia juga oke banget kalo nyanyi lagu slow. Pembawaannya yang tenang selalu bisa menghanyutkan semua orang. Padahal aslinya, dia itu kocak abiiss !! Gabriel juga salah satu Vokalis di SIB.

 ALVIN JONATHAN SINDUNATA (ALVIN)




Nah, cowok yang satu ini nggak bisa disangkal lagi, rebutan para cewek! Tampangnya yang imut dan agak cina-cina gitu bikin dia terkenal dalam sekejap! Cowok Juara 3 IC3 yang berasal dari Malang ini punya ciri suara yang juga beda dengan dua orang diatas : HipHop. Suaranya lembut tapi lebih enak didenger kalo membawa lagu" yang agak nge-jazz gitu. Dia jadi Vokalis terakhir yang masuk ke SIB.


CAKKA KAWEKAS NURAGA (CAKKA)


Cowok asal Jogja yang satu ini disebut-sebut mirip Justin Bieber gitu! Mirip nggak, sih? Aku juga nggak tau! Cowok putih yang satu ini berhasil memikat para cewek dengan penampilannya yang selalu keren dan enerjik. Soal kostum? Cakka jagonya! Finalis IC2 yang harus menghentikan langkahnya di 6 besar ini akhirnya menjadi Lead Guitaris di SIB.

 AGNI TRI NUBUWATI (AGNI)




Kalo yang satu ini favoritku ^^. Cewek chubby asal Jojga ini yang paliiiiing tomboy diantara cewek satu band-nya. Anaknya cuek, tomboy, manis (apalagi kalo senyum..), cantik (coba deh liat kalo dia udah pake kostum! Berubah jadi bidadari!), easy going, supel dan gampang beradaptasi. Sifatnya yang netral dan ramah membuatnya mempunyai banyak teman dimana-mana, termasuk Idola Cilik. Dia pandai bermain gitar dan kemarin sempat Go Internasional ke negara Brunei.Finalis 9 besar IC2 ini sekarang jadi Guitaris di SIB.

ZEVANA ARGA ANE ANGESTI (ZEVANA)



Bener nggak tuh, namanya? Panjang banget siih, hehe. Cewek asal Surabaya ini yang paling 'trendy' diantara cewek di SIB. Nggak seperti Agni yang tomboy ataupun Ify yang girly, Zevana termasuk netral. Gayanya yang stay cool itu bikin banyak orang jatuh cinta sama dia. Suara Finalis IC3 yang ngebass ini sesuai dengan keahliannya bermain Bass di SIB.

ALYSSA SAUFIKA UMARI (IFY)



Cewek Finalis IC1 ini memiliki kepribadian yang pasti semua orang suka: cantik, lembut, pintar, dan ramah. Dia ini yang paling 'cewek' diantara semua temannya di SIB. Dia juga pernah Go Internasional bareng Agni ke Brunei. Sekarang, dia memegang Keyboard di SIB.

 MUHAMMAD RAYNALD PRASETYA (RAY)




Nah, cowok yang ini dibilang paling keren di SIB. Kenapa? Yupz, benar sekali! Karena dia berperan sebagai Drummer! Ray yang asal Jakarta sih, senyam-senyum aja dibilang keren (padahal seneng tuuh...). Dia adalah Finalis IC3 yang paling kecil di SIB.


Jadi, sekarang mereka terkumpul di satu band yang bernama Super Idola Band atau bisa disingkat SIB. Nah, ini yang dapat saya ceritakan tentang mereka. Bagi yang penasaran dan mau lihat aksi mereka silahkan cari di http://www.youtube.com. Sekian dan salam SIBlink !!















































 

Jumat, 02 Juli 2010

cerbung IC : satu hati_part14

“Duuh.. Zeze bantuin, dong!” Agni menggapai-gapai. Tangannya sudah kotor kena macem-macem kotoran dari pohon. Zevana mengangkat bahu dan lari meninggalkan Agni. Istirahat ini mereka (Agni, Rahmi, Gita, Oik, Zevana) pergi ke pohon besar di belakang sekolah seperti biasa. Seperti biasa juga, Agni dan Zevana tiduran di atas salah satu dahan pohon itu. Yang lainnya memilih istirahat di bawah. Lagi asik-asiknya tidur, tiba-tiba dahan yang mereka tiduri patah. Alhasil, Agni dan Zevana jatuh ke bawah dan lebih parah lagi harus ‘ngumpetin’ dahan pohon yang guedeee banget itu sebelum ketahuan guru. Eh, bukannya bantuin, Zevana malah kabur!
‘Dasar! Giliran begini aja kabur! Awas ntar di kelas!’ maki Agni dalam hati.
“Lagi bersih-bersih?” kata seseorang. Agni mengenali suara itu.
“Jangan ledekin gue, deh.. mendingan loe jadi orang yang berguna dan bantuin gue angkat ini!” kata Agni.
“Lagian loe juga sih, cewek kok pecicilan banget. Pake naik-naik pohon segala lagi.” katanya sambil tertawa. Dia menghampiri Agni dan membantunya mengangkat dahan pohon besar itu ke bagian belakang taman. Agni membersihkan tangannya.
“Hhh... hampir aja.” katanya lega.
“Untung ada gue.” kata orang itu bangga.
“Iya.. makasih ya Cakka Kawekas Nuragaaa....”
“Loe ketinggalan gelar ‘yang ganteng’” Cakka tertawa. Agni geleng-geleng kepala.
“Loe nggak pernah berubah. Dari dulu sampe sekarang teteeep aja narsis!” Agni berbalik. Cakka berjalan di sebelahnya.
“Loe juga nggak pernah berubah.” kata Cakka.
“Apanya?”
“Dari dulu teteeeepp aja nggak mau ngakuin kalo gue cakep.” kata Cakka sambil melirik Agni. Agni mengernyitkan dahi.
“Please, deh! Gue bukannya nggak mau ngakuin loe cakep, tapi loe emang nggak cakep. Mendingan gue ngeliatin Alvin, ketauan cakepnya.”
“Eitss.. jangan salah. Gue sama Alvin 11-12! Dia kembaran gue, tau!” Cakka masih tetep pede.
“Ya Tuhan.. apa salah hamba sampai Engkau memberikan hamba sahabat seperti dia..” kata Agni yang bergaya berdoa dan memohon. Cakka tertawa.
“Tuhan.. pasti hamba orang yang sangat baik, rajin, jujur, dan patuh padamu. Engkau pasti sangat menyayangi hamba..” Cakka menirukan Agni. Agni menatap Cakka nggak percaya. ‘Nih orang narsis gila!’ batinnya. Cakka lalu tersenyum dan merangkul Agni.
“Karena Engkau mengirimkan seorang bidadari cantik dan baik hati untuk menemani hari-hari hambamu yang kesepian ini. Aku pastilah orang yang sangat beruntung..” lanjutnya. Agni menoleh, matanya beradu dengan mata Cakka yang juga menatapnya. Agni menatap mata Cakka, ada sesuatu yang disembunyikan olehnya tapi Agni tidak tahu apa. Agni merasa ada kerinduan dalam dirinya terhadap sahabatnya itu. Sudah lama mereka tidak sedekat ini, mungkin 2-3 tahun lalu? Sekarang mereka semakin dewasa dan semua terasa berbeda.
Cakka menatap mata Agni. Mata hitam dan bulat yang sangat cantik. Cakka selalu mengagumi keindahan yang ada pada diri Agni. Agni yang polos, yang peduli dan hangat pada orang lain. Dia jatuh cinta pada Agni sejak gadis itu mengulurkan tangan pada Cakka kecil yang menangis karena semua menjauhinya. Senyumnya mampu meredam semua kesedihan yang ada di hati Cakka, sampai sekarang. Cakka tidak dapat menahan perasaannya yang bergejolak saat ini. Tangannya meraih wajah manis Agni. Agni tersentak.
“Cakka..”
“Sstt.. diam..” Cakka menaruh jarinya di depan bibir mungil Agni. Agni terdiam. Cakka mendekatkan wajahnya ke wajah Agni. Jantungnya berdetak kencang.

***

Gabriel membanting buku yang dibawanya ke atas meja. Dayat yang lagi ngobrol sama Shilla tersentak kaget.
“Loe kenapa, sih? Dateng-dateng ngamuk!” kata Dayat sewot.
“Tau, ganggu orang aja.” sambung Shilla.
“Diem loe!” Gabriel membentak Shilla. Dayat langsung berdiri.
“Heh, ada masalah apa loe sama cewek gue?! Biasa aja dong, nggak usah pake sewot!” Dayat membela Shilla. Gabriel menghempaskan dirinya di kursi. Dia merasa sangat kesal, emosinya memuncak. Kejadian tadi masih terbayang di pikirannya. Gabriel berjalan menuju taman belakang untuk menemui Agni (Zevana bilang Agni disana). Dia bermaksud mengajak Agni pulang bareng karena Tania sakit dan dirawat di RS. Tapi yang didapatnya adalah pemandangan yang membakar hatinya. Memang dia menemukan Agni, tapi bersama Cakka yang hendak menciumnya! Saat itu juga rasa cemburu menjalari hati Gabriel.
“Loe salah sangka kali.” Dayat menenangkan Gabriel.
“Salah sangka apanya, sih?! Dimananya yang salah, loe pikir mata gue rusak?!” Gabriel masih sewot. Dayat menghela napas dan menoleh ke Shilla yang duduk di sampingnya. Shilla mengangkat bahu.
“Jelas-jelas Cakka itu mau ngerebut Agni dari gue! Kalo loe di posisi gue, gimana perasaan loe?!”
“Kenapa loe nggak nanya dulu sama Agni? Dari pada loe kelabakan kayak orang kebakaran jenggot.” kata Dayat. Gabriel terlihat berpikir.
“Loe pikir dia mau bilang yang sebenernya sama gue?” tanya Gabriel. Dayat mengangguk.
“Yang paling penting loe harus percaya sama dia. Kunci utama hubungan yang langgeng itu saling percaya.” kata Dayat sambil menggenggam tangan Shilla. Shilla tersenyum. Gabriel menatap mereka berdua. Kadang dia iri pada Dayat dan Shilla yang selalu terlihat nyaman, padahal mereka jadian dari kelas 3 SMP! Dan sampai sekarang mereka masih bertahan. Gabriel menerawang. ‘Coba kalo gue sama Agni bisa kayak mereka.’ batinnya.

“Siviaa!!” Shilla merangkul Sivia dari belakang.
“Aduduhh.. loe kenapaa lagi?” tukas Sivia yang lagi menelepon.
“Lagi nelpon siapa, loe?” tanya Shilla.
“Bukan urusan loe kaliii...”
“Yee.. pelit! Gue punya good news nih!” kata Shilla.
“Good news apaan?”
“Tadi waktu gue sama Dayat lagi ngobrol, tiba-tiba Gabriel dateng trus cerita kalo dia sama Agni lagi ada masalah gitu. Nah, gue pikir sekarang waktunya loe bertindak! Mumpung ada kesempatan..” kata Shilla. Sivia terlihat berpikir.
“Males, ah.” katanya. Shilla melongo.
“Males? Udah setahun loe ngejar Gabriel, sekarang waktu ada kesempatan bagus loe bilang males?? Kepala loe kejedot tembok ya??” Shilla memutar-mutar kepala Sivia.
“Aduuhh.. udah deh nggak usah dibawa ribet! Kalo Gabriel mau sama Agni ya udah biarin aja, nggak usah ngurusin urusan orang, deh!” kata Sivia cuek. Shilla menatapnya curiga.
“Tunggu, tunggu.. jangan-jangan loe udah punya kecengan baru? Siapa? Anak mana? Jangan-jangan yang lagi telfonan sama loe lagi!” tuduh Shilla.
“Apaan sih, loe. Nggak jelas banget.” Sivia mengelak. Shilla tersenyum mengejek.
“Aah.. curang loe! Punya kecengan nggak bilang-bilang gue.. nanti gue..” omongan Shilla terpotong hp-nya yang berbunyi. Shilla mengangkatnya dan pergi meninggalkan Sivia. Sivia bernapas lega.
“Sori, omongan kita jadi kepotong, nih.” Sivia berbicara melalui hp-nya.
“Shilla itu nggak pernah berubah, ya. Masih aja cerewet.” kata orang di seberang.
“Emang, gue aja kadang heran kenapa Dayat bisa betah banget sama dia.” kata Sivia. Orang itu tertawa.
“Kalo itu sih emang rancangan nasib! Tapi dia kan sahabat loe juga.” katanya.
“Iya, biarpun ngeselin tapi dia emang sahabat terbaik gue. Ngomong-ngomong, kapan loe balik ke Jakarta?” tanya Sivia.
“Yah, kalo tugas bokap gue di Manado udah selesai juga gue pinginnya balik lagi.” jawabnya.
“Oh, syukur deh. Tapi..” bel tanda istirahat usai memotong kata-kata Sivia. “Eh, udah bel masuk nih. Udahan dulu ya, ntar gue sms.” kata Sivia.
“Oh, oke. Tiitp salam gue buat Dayat n Gabriel, ya. Bilang gue kangen banget sama mereka.”
“Siip..”

***

“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Gabriel. Agni menggeleng.
“Agni masih mau disini.” kata Agni pelan sambil bersandar di pundak Gabriel. Gabriel heran, sejak pulang sekolah tadi sikap Agni sangat manja, atau mungkin bisa dibilang sangat aneh? Dia nggak mau jauh-jauh dari Gabriel, tangannya nggak mau lepas dari lengan Gabriel. Mereka hanya berpisah paling jauh waktu Gabriel ke toliet. Gabriel jadi bingung sendiri. Sekarang mereka berada di rumah sakit tempat Tania dirawat karena sakit tifus.
“Ag, kamu nggak apa-apa? Kamu sakit?” Gabriel mengusap dahi Agni. Agni menggeleng.
“Mau makan? Kamu belum makan siang, kan?” tanya Gabriel. Agni menggeleng lagi. Gabriel menghela napas.
“Kamu kenapa sih, Ag? Jangan diem kayak gini, dong. Ada yang mau kamu omongin? Kalo ada masalah bilang aja..” Gabriel mengusap rambut Agni lembut.
“Agni cuma mau sama-sama kak Gabriel, itu aja.” Agni mempererat pegangannya. Gabriel menarik napas.
“Ya udah, terserah kamu aja. Tapi kalo kamu perlu temen curhat, aku siap dengerin cerita kamu.” kata Gabriel. Agni tersenyum kecut, mana mungkin dia bilang sama Gabriel soal kejadian tadi siang. Bisa-bisa Gabriel nggak mau ketemu dia lagi! Agni memejamkan matanya. Gabriel melepaskan tangannya dan menyandarkan kepala Agni di bahunya. Tangannya mendekap badan mungil Agni. Agni menarik napas. Rasanya nyaman sekali, hangat dan membuat perasaan jadi tenang. Agni kembali terpejam.
Gabriel tersenyum melihatnya. Waktu pertama kali kenal, Gabriel melihat Agni sebagai cewek yang kuat. Tapi setelah mengenalnya lebih dalam Gabriel dapat melihat bahwa Agni juga cewek biasa yang rapuh dan memerlukan kasih sayang. Tadinya Gabriel mau bertanya soal kejadian yang dilihatnya, tapi begitu melihat wajah Agni yang murung semua keingintahuannya langsung hilang. Ternyata rasa sayangnya lebih besar dari kecemburuannya. Gabriel melirik jam di dinding.
“Udah hampir malem, aku anterin kamu pulang, ya?” tanya Gabriel lembut. Agni membuka matanya dan mengangguk. Ternyata tubuhnya yang capek nggak bisa diajak kompromi.
“Aku ambil motor dulu, kamu tunggu di lobby aja.” Gabriel menyambar jaket dan kunci motornya lalu pergi. Agni yang memang udah ngantuk mengambil tasnya dan keluar ruangan. Saat sedang berjalan di koridor, seseorang muncul di depannya. Agni tersenyum.
“Sore, tante. Kalo tante nyari kak Gabriel, dia lagi di bawah ngambil motor. Tapi cuma sebentar kok, nganterin Agni pulang terus kesini lagi.” katanya. Tante Nita memandang Agni.
“Apa kamu serius pacaran sama Gabriel bukan karena uang?” tanyanya sinis. Agni agak kaget mendengarnya.
“Uang? Maksud tante?” tanya Agni nggak ngerti.
“Ya, biasalah. Orang miskin yang bisa masuk ke sekolah high-end biasanya nyari cowok yang kaya biar bisa jadi atm berjalan. Kalo udah bosen, ditinggal.” katanya dengan nada menyindir. Tante Nita mengeluarkan amplop coklat dari tasnya dan menaruhnya di tangan Agni.
“Apa ini?” tanya Agni.
“Kenapa nggak kamu buka sendiri?” katanya. Agni membuka amplop itu dan terbelakak melihat isinya.
“I.. ini..”
“Kenapa? Nggak cukup? Kamu mau tambah berapa, bilang aja.” tante Nita mengeluarkan dompetnya.
“Nggak, tunggu.. maksud ini semua apa?” tanya Agni.
“Saya bisa kasih lebih dari yang ada di amplop itu buat kamu tapi dengan satu syarat.” katanya. Tante Nita membisikkan sesuatu di telinga Agni. Agni terdiam sejenak, lalu tersenyum.

***

“Kamu langsung tidur, ya. Muka kamu pucet banget.” kata Gabriel di depan pintu rumah Agni. Agni mengangguk.
“Aku pulang dulu, kita ketemu besok di sekolah.” katanya sambil berbalik.
“Kak..” langkah Gabriel terhenti oleh Agni yang memegang tangannya. Gabriel menatap Agni.
“Maaf..” kata Agni lirih. Gabriel mengerutkan kening.
“Maaf? Buat apa?” tanyanya. Agni tidak menjawab pertanyaannya. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Ag, kamu kenapa? Jangan nangis..” Gabriel memegang pipi Agni.
“Agni sayang kak Gabriel..” lirihnya. Air matanya tumpah. Gabriel mendekapnya.
“Sshh.. iya aku juga. Kamu jangan nangis, dong.” Gabriel mengelus-elus punggungnya. Agni melepaskan pelukannya.
“Udah malem, kakak pulang aja sekarang.”
“Tapi, Ag..”
“Agni ngak apa-apa. Kakak istirahat aja.” katanya sambil mendorong Gabriel.
“Kamu yakin?” tanya Gabriel. Agni mengangguk.
“Kalo gitu, kakak pulang dulu.” Gabriel melangkah ragu-ragu sebelum akhirnya benar-benar pergi. Agni bergegas masuk ke kamarnya. Diabaikannya kata-kata kak Riko dan langsung mengunci diri di kamar. Dia melihat lampu kamar Cakka masih menyala. Tangisnya pun kembali tumpah.

Cakka modar-mandir di kamarnya. Rasa gelisah, penasaran, dan rasa bersalahnya campur aduk jadi satu. Cakka menyesali apa yang diperbuatnya tadi siang.
“Dasar Cakka bego! Otak loe tuh dimana, sih?! Ngapain juga loe ngelakuin semua itu?! Gara-gara loe, Agni jadi ngejauh, tau!” makinya pada diri sendiri. Sejak kejadian tadi siang, Agni menjauh dari Cakka. Telfonnya nggak diangkat, sms nggak dibales, pulang sama Gabriel (padahal sebelumnya walaupun udah jadian Agni tetep berangkat-pulang bareng Cakka). Dan kegelisahannya bertambah ketika mendengar Agni sedang menangis di kamarnya tapi dia nggak tau kenapa dan nggak bisa berbuat apa-apa! Cakka menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal sama sekali. Duuhh.. gue mesti gimana???!!!!

***

Cakka mengetuk pintu rumah Agni dengan was-was. Dia mau bilang apa nanti?? ‘Hai, gue minta maaf soal kemaren..’ aahh!! Nggak! ‘Ag, masalah kemaren itu..’ bukan! bukan! ‘Pagi, gimana kabar loe? Soal kemaren itu nggak usah dipikirin ya, gue..’ jangan kayak gitu! Arrgghh..... gimana nih?? Cakka kelabakan. Pintu rumah terbuka.
“Loh? Loe belum jalan, Cak?” tanya Riko.
“Belom, Agni mana? Biasanya heboh.” tanya Cakka. Riko mengernyitkan dahi.
“Agni udah berangkat dari tadi.” kata Riko.
“Udah.. berangkat? Kapan? Kok nggak bilang-bilang gue?” tanya Cakka heran.
“Dia berangkat buru-buru dari jam 6 pagi tadi. Gue kira dia sama loe.” gantian Riko yang bingung.
“Oh..” Cakka mulai gelisah. ‘Jangan-jangan dia ngehindar dari gue.’ batin Cakka. Riko melihatnya.
“Loe ada masalah sama dia?” tanyanya.
“Hah? Masalah? Nggak, nggak kok.” kata Cakka gugup.
“Gue kenal sama loe udah 7 tahun, jangan kira loe bisa ngeboongin gue.” kata Riko. Cakka menelan ludah. “Kemaren dia nggak pulang sama loe, begitu pulang sikap dia aneh, waktu gue ikutin ke kamarnya dia lagi nangis. Dan yang paling bikin gue heran, tadi malem tidur gue nyenyak. Padahal biasanya gue nggak bisa tidur gara-gara loe berdua suka begadang di atas kamar gue!” tegas Riko. Cakka cuma bisa diam.
“Ada masalah apa, Cak?” tanya Riko lagi.
“Eh, gue harus berangkat sekarang.” Cakka berbalik.
“Cakka!” panggil Riko. Cakka menoleh. “Kalo sampe Agni kenapa-napa, loe orang pertama yang gue cari!” ancam Riko. Cakka merinding mendengarnya.


Gabriel membereskan tumpukan kertas yang ada di mejanya. Dia berangkat lebih pagi karena masih banyak urusan yang belum selesai. Sebagai ketua OSIS, tanggung jawabnya sangatlah besar, semua guru mengandalkannya. Gabriel merentangkan tangannya. Duduk lama bikin badan pegel-pegel. Dia mengambil beberapa map untuk dibawa ke ruang BP dan kepala sekolah. Gabriel membuka pintu dan terheran melihat seseorang yang berdiri di samping pintu.
“Agni? Kamu udah lama disini?” tanya Gabriel.
“Lumayan..” jawabnya singkat.
“Kenapa nggak masuk? Kamu tau aku di dalem kan?”
“Nggak, Agni nggak lama, kok.” katanya sambil menatap Gabriel. Gabriel merasa ada yang tidak beres.
“Ag, ada apa?” tanyanya.
“Agni minta putus..” katanya singkat dan tanpa ekspresi. Gabriel tercekat, napasnya sesak, jantungnya berdegup kencang.
“Ke.. kenapa kamu.. Ag, kamu nggak bisa ngambil keputusan gitu aja! Ini gila!” Gabriel setengah berteriak.
“Agni bisa, dan sekarang Agni mau putus..”
“Tapi kenapa?! Apa alasannya? Apa salah aku?!” tanya Gabriel tidak mengerti.
“Agni nggak perlu jelasin semua, kakak nggak perlu tau.” ucapnya singkat dan berbalik pergi. Gabriel menahannya.
“Ag, tolong jangan lakuin ini.. kamu tau kalo aku sayang banget sama kamu! Bilang apa salah aku, aku nggak akan lakuin lagi! Kasih aku kesempatan, Ag!” Gabriel berlutut dan memohon. Agni menepis tangannya dan pergi. Gabriel mematung. Map yang dipegangnya berjatuhan. Butir-butir air mulai jatuh, Gabriel merasa dunianya runtuh! Pikirannya kalut. Hatinya hancur berkeping-keping, sakitnya melebihi apapun yang pernah dirasakannya. Badannya kaku, lidahnya kelu. Kenapa ini harus terjadi lagi??

Agni meringkuk di pojok ruangan, bahunya bergetar. Rahmi berdiri di sampingnya, berbicara dengan seseorang dari hp Agni. Tidak lama kemuadian Rahmi menutup telponnya dan duduk di samping Agni.
“Loe yakin ini cara terbaik?” tanyanya.
“Gue.. gue juga nggak tau.. gue juga nggak mau lakuin ini..” katanya sambil terisak. Rahmi mengelus punggung Agni, mencoba menenangkannya. Agni masih terisak, dia nggak akan lakuin ini kalau wanita itu tidak mengancamnya.
Tante Nita mengatakan akan memberikan berapapun uang yang Agni inginkan asalkan dia menjauhi Gabriel atas dasar perbedaan status ekonomi. Agni menolaknya karena dia pikir ini semua nggak ada hubungannya dengan uang. Dan Agni nggak serendah itu sampai mau mengorbankan hubungannya demi sejumlah uang. Tapi ternyata tante Nita punya banyak cara untuk meyakinkannya.

“Kalau kamu menolak, saya bisa dengan mudah mengeluarkan kamu dari sekolah ini.” ancamnya. Agni tidak terpancing.
“Agni yakin sekolah nggak akan mengeluarkan siswanya tanpa alasan yang jelas.”
“Tidak kalau yang mengatakannya adalah pendonor utama sekolah itu.” Tante Nita tersenyum. “Atau mungkin kamu mau supaya saya bicara dengan kepala Dinas Pendidikan yang masih kakak saya untuk mencabut gelar ayah kamu sekaligus haknya untuk mengajar. Juga mengeluarkan kakak tertua kamu, Riko dari kampusnya di tengah-tengah ujian dan sidang untuk menjadi calon Insinyur. Keluarga kalian memang pintar, tapi beasiswa gampang dicabut.” katanya. Agni terbelakak.
“Tante nggak bisa kayak gitu, dong! Itu kan..”
“Saya bisa melakukan apapun yang saya mau. Termasuk mengatakan pada sahabatmu tercinta bahwa ibunya, Ida Nuraga sekarang sedang dalam proses perceraian dengan ayahnya. Pasti dia shock berat.” ucapnya penuh kemenangan.
“Da.. dari mana tante tahu itu semua?”
“Saya punya mata dan telinga dimana-mana. Jadi, mana yang kamu pilih? Gabriel, atau keluarga dan sahabatmu? Pikirkan baik-baik dan ingat, saya tidak main-main.”

“Gue nggak nyangka semua bakal serumit ini jadinya.” kata Rahmi.
“Gue juga nggak pernah ngebayangin bakal jadi kayak gini! Gue nggak tau harus gimana lagi sekarang!” Agni memegangi kepalanya. Rahmi memeluk Agni.
“Sabar, ya. Ini cobaan buat loe, loe harus sabar menghadapi semuanya. Yang pasti loe ngelakuin ini semua buat keluarga loe, juga Cakka. Gabriel pasti ngerti..” Rahmi mencoba menenangkan Agni. Agni menggeleng.
“Gue takut dia nggak ngerti. Coba loe liat ekspresinya tadi, dia pasti nggak akan maafin gue..” kata Agni lirih. Rahmi menghela napas. ‘Ya Tuhan, cobaan apa lagi yang Engkau berikan pada sahabatku ini? Kuatkanlah dia..’

***

Cakka menggiring bola menuju ring. Beberapa orang menghadangnya tapi Cakka berhasil lewat. Dia mulai menembak dan... meleset!
PRIITT..PRIITT... Uncle Joe membunyikan pluit.
“Kamu kenapa, Cakka? Hari ini permainanmu berantakan. Dari awal latihan tembakan kamu nggak ada yang masuk. Turnamen tinggal 4 hari lagi, kalo permainan kamu kayak gini uncle takut nggak bisa masukin kamu ke dalam tim.”
“Ma.. maaf..” ucap Cakka sambil terengah-engah. Uncle Joe menggelengkan kepala.
“Istirahat 5 menit!” teriaknya. “Uncle nggak tau apa masalah kamu, tapi uncle mau kamu fokus pada turnamen ini. Kamu kapten dan harus bisa membawa seluruh tim. Istirahatlah dulu.” katanya dan pergi meninggalkan Cakka. Cakka terduduk di pinggir lapangan. Keringat bercucuran di dahinya. Seharian ini Cakka merasa sangat kacau, dia nggak bisa konsentrasi belajar, nggak nafsu makan dan sekarang permainannya berantakan! Cakka menepuk kepalanya sendiri.
“Mau nepuk sampe kepala loe pecah juga percuma.” kata seseorang yang baru duduk di sebelahnya. Dia memberikan Cakka minuman dingin. Cakka mengambil dan meminumnya.
“Loe masih mikirin Agni?” tanyanya. Cakka termenung.
“Dia ngejauhin gue, Vin.”
“Gara-gara waktu itu?” tanya Alvin. Cakka mengangguk.
“Gue cuma takut dia nggak mau maafin gue lagi. Gue emang nyebelin dan sering bikin dia jengkel tapi kali ini gue udah keterlaluan. Gue jadi heran sendiri kenapa gue bisa sebego itu!” kata Cakka. Alvin menepuk pundaknya.
“Loe harus ngomong sama dia. Kalo loe jelasin semuanya, dia pasti maafin loe. Agni bukan orang pendendam, kok. Nepuk lalat aja dia nggak berani. Apalagi loe sahabatnya dari kecil.” kata Alvin.
“Loe yakin?”
“Kenapa nggak loe coba dulu?”

Hujan turun cukup deras sore ini. Cakka berlari menuju parkiran motor, dia membawa sebuah bola basket. Bajunya basah. Cakka menggerutu dalam hati, ‘Sial! Kenapa sore ini harus hujan, sih?! Mana gue nggak bawa jas hujan lagi.’ Cakka memandangi hujan yang terus turun.
‘Tapi kalo gue nggak pulang ntar keburu malem. Hari ini kan mama pulang dari Swiss, kasian kalo nunggu sendiri di rumah.’ batinnya. Akhirnya tanpa peduli hujan yang turun Cakka menaiki motornya dan pergi meninggalkan sekolah. Dalam hujan Cakka melihat sosok yang sangat familiar sedang berjalan di trotoar. Cakka menghampirinya.
“Ag, kenapa loe sendirian? Ayo naik.” ajak Cakka. Agni yang baru menyadari kedatangan Cakka terus berjalan.
“Nggak usah, makasih.” katanya datar.
“Nggak usah gimana? Loe basah kuyup gitu. Mendingan bareng gue aja, nanti loe sakit.” kata Cakka. Agni tidak menghiraukannya dan terus berjalan. Cakka turun dari motornya dan mencengkram lengan Agni.
“Aduh! Apaan sih, loe?!”
“Kenapa loe hindarin gue?” kata Cakka.
“Maksud loe apa, sih?!”
“Loe tau maksud gue, kenapa loe hindarin gue sejak kejadian itu?! Kenapa?! Loe nggak suka, loe marah atau mungkin benci sama gue? Bilang sama gue Ag, kenapa?!” suara teriakan Cakka bercampur dengan suara hujan. Agni menarik napas.
“Kenapa loe lakuin itu?” tanyanya. Cakka menggeleng.
“Gue..”
“Loe nggak seharusnya kayak gitu Cak, gue temen loe! Sahabat loe dari kecil! Dan loe tau kalo gue punya cowok, kan?! Hal itu nggak seharusnya ada, kita berdua sahabat!” kata Agni. Cakka meremas tangannya.
“Terus kenapa? Apa kalo sahabat gue nggak boleh suka sama loe, gitu?! Bukan gue yang minta suka sama loe, tapi ini muncul sendiri! Dan gue capek harus nutupin perasaan gue, gue mau loe tau kalo gue ada! Gue mau loe tau kalo selama ini ada orang yang selalu sayang sama loe apa adanya dan itu gue! Gue sayang sama loe, Ag..” Cakka menatap mata Agni lekat-lekat. Agni meringis.
“Kenapa.. kenapa baru sekarang..”
“Gue minta maaf kalo udah rahasiain ini dari loe, tapi gue takut kalo gue bilang loe bakal ngejauh dari gue. Gue cuma takut kehilangan loe..” Cakka memegang wajah Agni yang basah. Agni menunduk. Dia tidak bisa, benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan yang satu ini. Cakka adalah sahabat terbaiknya, yang selalu bisa mengerti dia, tapi untuk jadi lebih dari itu..
Agni melepas tangan Cakka dari wajahnya.
“Maaf..” katanya lirih. Jantung Cakka berdegup kencang. Agni berbalik dan pergi. Cakka menatap kepergian Agni dengan pandangan nanar. Tangannya mengepal. Cakka kembali ke motornya dengan lesu. Digenggamnya bola basket di depannya. Ternyata begini rasanya patah hati. Cakka tertawa kecil dan melempar bolanya jauh-jauh.
“Siaalllll!!!!” bolanya terpental jauh ke tengah jalan. Cakka memegangi kepalanya. Dia tidak peduli lagi pada hujan yang membasahinya sekarang, yang dia mau cuma pulang ke rumah. Cakka mencari bola yang tadi dilemparnya. Dalam hujan seperti ini sulit sekali melihat ke depan. Setelah beberapa lama mencari Cakka melihat benda berwarna oranye. Cakka memungutnya. Namun tiba-tiba cahaya yang terang menyilaukan matanya. Cakka tidak bisa melihat apa-apa selain mendengar teriakan seseorang yang memanggil namanya.
“Cakkaaaaa...!!!!!” lalu semuanya menjadi gelap.

Gabriel membanting semua barang di kamarnya. Kamarnya sekarang lebih mirip kapal pecah. Barang berserakan dimana-mana. Dengan takut-takut Tania masuk ke kamar kakaknya.
“Kak, makan dulu.” katanya pelan.
“Kakak nggak laper.”
“Tapi kan..”
“Dibilangin kakak nggak laper! Kamu denger nggak, sih?!” tanpa sadar Gabriel membentak Tania. Tania menciut.
“Kan.. nggak usah.. ngebentak.. gitu..” Tania mulai terisak. Gabriel mengangkat kepalanya. Rasa menyesal menyelimutinya. Tania nggak tau apa-apa.
“Nia..”
“Kak Iel jahaatt!!!” Tania berlari ke luar kamar. Gabriel menghela napas. ‘Bagus, sekarang Tania menjauhinya juga!’ makinya dalam hati. Kejadian tadi pagi tidak bias hilang dari benaknya. ‘Apa salah gue? Apa salah gue sampe Agni mutusin gue?!!’ Gabriel terus berteriak dalam hati. Dia sama sekali nggak bisa terima semua ini! Ini nggak masuk akal! Gabriel mengambil hp-nya dan menelepon Agni. Tapi yang didengarnya suara lain. ‘Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.’. Gabriel mengulanginya berkali-kali tapi tetap tidak ada jawaban.
“Damn!!!!!!!!!!” Gabriel membanting hp-nya dengan penuh amarah (sayang banget padahal hp-nya BB*). DIa terduduk di kasur, memegangi kepalanya. Rasa kecewa, marah, sedih, bingung, sakit, pedih seakan jadi satu. Dia harus menemukan cara untuk bertemu dengan Agni, harus! Gabriel mengambil kunci motornya dan bergegas keluar kamar tanpa mendengar suara dering hp di lantai kamarnya.

Gabriel menghentikan motornya di depan sebuah rumah mungil yang tampak sepi. Dari luar rumah itu terlihat kosong. Gabriel terheran, biasanya pintu rumah selalu terbuka karena ibunya ada di rumah. Gabriel turun dan mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Gabriel mengetuk pintu lebih keras, tetap tidak ada jawaban. Gabriel mengetuk lagi lebih lama, tapi tetap tidak ada jawaban. ‘Jelas mereka pergi.’ batinnya. Saat berbalik untuk pulang Gabriel melirik ke arah rumah Cakka yang juga tampak sepi. Gambaran kejadian yang dilihatnya di taman belakang sekolah waktu Cakka mencium Agni kembali muncul. Hatinya panas seketika. Tangannya mengepal.
“Pasti Cakka!!”

***

Cakka mencium sesuata yang aneh di hidungnya, aroma ini..bukan kamarnya. Baunya seperti alkohol, dan bau obat-obatan lain yang tercium samar. Kepalanya terasa perih, sakit sekali. Cakka membuka mata pelan, cahaya terang menusuk matanya. Cahaya yang mengingatkannya pada suatu hal. Tapi apa?
“Cakka?” sebuah suara memanggilnya. Suara lembut yang sangat dirindukannya. Cakka berusaha mencari sumber suara itu dan tersenyum.
“Mama…” lirihnya.
“Cakka, sayang.. kamu sadar, nak..” mama mengelus rambut Cakka pelan. Matanya terlihat basah.
“Ma.. mama nangis?” tanya Cakka pelan. Mama menggeleng.
“Ma.. Cakka.. kenapa..?” tanyanya lagi.
“Kamu nggak inget? Hari itu hujan deras, kamu lagi ambil bola di tengah jalan lalu ada mobil yang nabrak kamu. Orang itu lagsung bawa kamu kesini.” kata mama. Cakka memejamkan mata, membawanya kembali ke kejadian waktu itu. Waktu hujan, waktu cahaya itu datang, waktu dia tertunduk lemas, waktu hatinya sakit, dan juga…
“Agni..” kata itu meluncur begitu saja dari bibr Cakka.
“Kamu harus berterima kasih sama Agni, kalo dia nggak ada mama nggak bias ngebayangin ada dimana kamu sekarang.” kata mama. Cakka menatap mamanya dengan pandangan bertanya.
“Maksud mama? Emang Agni ngapain?” tanyanya.
“Loh? Emang kamu nggak tau juga?” mama agak terkejut. Cakka menggeleng. “Kata supir mobilnya, waktu kamu hampir ketabrak, tiba-tiba Agni muncul dan ngelindungin kamu. Makanya cuma kaki kamu yang luka.” jelas mama. Cakka tersentak. ‘Agni? Agni melindungiku?’ batinnya. Tiba-tiba jantungnya berdetak kencang.
“Terus? Sekarang Agni gimana?!” tanyanya panik. Mama menenangkannya.
“Agni ada di ruangannya, belum sadar. Tadi kondisinya sempet drop tapi sekarang udah stabil lagi. Kamu nggak usah khawatir.”
“Cakka mau ketemu Agni, ma. Cakka mau liat Agni!” Cakka bangun dari tidurnya. Waktu hendak turun, ia merasakan sakit yang luar biasa di kakinya.
“Aduuuhh….” Cakka mengerang.
“Kamu jangan banyak gerak dulu, luka kamu belum sembuh.” Mama kembali membaringkan Cakka. Cakka membuka selimut yang menutupi kakinya. Betapa kagetnya ia begitu melihat kedua kakinya kaku terbalut perban.
“Ma.. ini…” Cakka tidak sanggup berkata-kata. Mama menunduk.
“Luka kamu cukup parah, jadi untuk sementara kaki kamu harus di gips dulu. Kamu juga harus pakai kursi roda atau kruk untuk jalan sampai kakimu sembuh.” jelas mama. Wajah Cakka berubah pucat pasi.
“Tapi ma, 3 hari lagi ada turnamen basket! Cakka harus ikut ma, Cakka harus main! Cakka nggak bisa ninggalin temen-temen Cakka gitu aja!” teriak Cakka histeris.
“Maaf sayang, tapi kamu nggak bisa ikut turnamen. Buat berdiri aja kamu nggak bisa apalagi main basket.” Mama mengelus kepala Cakka lembut. Cakka hanya bisa terdiam, syok mengetahui apa yang terjadi. ‘Kenapa ini semua harus terjadi? Kenapa ini semua harus terjadi SAMA GUE?!! Pertama gue udah jauh dari Agni dan sekarang gue harus jauh dari basket juga?! Tuhan, kalau ini cuma mimpi tolong bangunkan aku sekarang! Kembalikan aku ke masa dulu dimana semua terasa mudah untuk dijalani..’

Cakka naik ke kursi rodanya dengan semangat. Rambutnya sudah dipotong agar kelihatan lebih rapi. Cakka memakai parfum agar lebih segar-karena sebenanrnya Cakka belum mandi- dia juga memakai baju yang sudah disetrika rapi walaupun hanya baju pasien biasa. Tadi Riko member kabar bahwa Agni sudah sadar. Cakka yang lagi makan langsung kelabakan kesana kemari (padahal kakinya belum sembuh) mencari apapun yang bisa mendorong penampilannya sebelum bertemu Agni. Cakka bertekad, hari ini ia akan minta maaf pada Agni atas semua yang telah dilakukannya. Dia juga akan berterima kasih yang sebanyak-banyaknya karena Agni sudah menolongnya. Semoga dengan kejadian kali ini hubungan mereka bisa menjadi lebih baik.
Mama membuka pintu kamar tempat Agni dirawat dan membawa Cakka masuk. Ada orangtua Agni, Arsyad-Irsyad, juga Riko pastinya. Dan Agni ada disana! Terbaring di kasurnya yang sedang diperiksa oleh dokter. Tapi ada yang aneh dari mereka semua. Mereka tidak terlihat bahagia, mungkin lebih terlihat khawatir dan gelisah. Cakka menatap Riko meminta penjelasan tapi Riko hanya menunduk dan membuat Cakka semakin heran. Cakka mendekati Agni setelah dilihatnya dokter selesai melakukan pemeriksaan. Agni menatap Cakka.
“Hei.. gimana kondisi loe?” tanya Cakka.
“Baik, tapi kepala gue masih agak sakit.” jawabnya. Cakka tersenyum.
“Gue kesini mau minta maaf sama loe soal kejadian waktu itu di belakang sekolah. Gue nggak mikirin akibatnya dan gue baru ngerasa nyesel waktu loe ngejauhin gue. Juga makasih karena udah nolongin gue.” kata Cakka. Agni terdiam.
“Minta maaf? Belakang sekolah? Ngejauhin loe? Nolongin loe? Kapan?” Agni balas bertanya pada Cakka. Cakka terheran.
“Masa loe lupa, sih? Kan loe yang nolongin gue dari kecelakaan kemarin.” tanya Cakka lagi. Agni berpikir sebentar lalu menggeleng.
“Sori, tapi.. loe siapa?” tanya Agni dengan polosnya. Cakka tersentak. Pandangannya beralih pada Riko yang hanya diam di sudut ruangan. Lalu pada Arsyad-Irsyad, juga pada orangtua Agni dan mamanya sendiri.
“Ag, loe bener-bener.. nggak inget gue?” tanya Cakka nggak percaya. Agni menggeleng. Cakka menahan napas. Kekecewaan kembali muncul di hatinya.

“Dia terkena amnesia. Penyebabnya bermacam-macam, salah satunya cedera kepala yang biasa terjadi pada kecelakaan mobil seperti kalian yang bisa memicu kebingungan dan gangguan mengingat informasi baru, khususnya di awal-awal masa pemulihan.” jelas dokter pada Cakka yang menunggu di luar ruangan.
“Apa ini akan berlangsung lama?” tanyanya.
“Umumnya amnesia seperti ini ringan dan tidak akan berlangsung lama, namun saya sarankan untuk tidak memaksanya melakukan aktifitas otak yang berlebihan. Contohnya jangan ingatkan dia pada masalah-masalah yang sedang dia hadapi, karena saat ini akan lebih baik jika otaknya dibiarkan berfikir secara normal sehingga mempercepat pemulihannya. Masalah hanya akan memperlambat prosesnya, dan kalau otaknya tidak dapat mengontrol semua sekaligus maka ini dapat menjadi amnesia permanen.” lanjutnya. Cakka mengangguk mengerti. Jadi sekarang Agni tidak ingat padanya? Entah itu berita bagus atau buruk. Bagus karena Agni tidak mengingat apapun tentang masalahku dengannya dan buruk karena Cakka tahu ini hanya akan menjadi awal dari masalah baru yang akan dihadapinya.

cerbung IC : satu hati_part13

“Ag, udah siap belum?” tanya Gabriel.
“Duh, masih deg-degan kak..”
“Tarik nafas dalem-dalem..” kata Gabriel. Agni menarik nafas berkali-kali.
“Aku buka ya..” kata Gabriel.
“Ntar dulu! Aduuhh.. Agni masih grogi nihh..” Agni memegang lengan Gabriel.
“Nggak apa-apa, kan ada aku. Kita hadapin semua berdua.” Gabriel menggenggam tangan Agni. Agni mengangguk.
“Jadi, aku buka ya..” kata Gabriel lagi. Agni mengangguk dan memejamkan matanya. Jangtungnya berdetak kencang. Perlahan-lahan terdengar bunyi ‘CKLEK’, lalu hening. Agni membuka matanya dan terkesiap melihat ruangan besar yang terang dengan cat krem yang elegan. Lampu gantung indah menghiasi langit-langit. Lantai marmer di bawah kakinya berkilauan. Agni menelan ludah.
“Agni jadi makin grogi, nih.” katanya. Gabriel tersenyum.
“Tenang aja, mamaku nggak gigit kok. Dijamin kamu pulang selamat sentosa!” kata Gabriel.
“Semoga..” kata Agni pelan dari belakang punggung Gabriel. Gabriel tertawa. Hari ini Gabriel mengajak Agni ke rumahnya untuk dikenalkan pada mamanya. Atau mungkin lebih tepatnya ‘memaksa’ bukan ‘mengajak’. Gabriel protes karena Agni belum kenal dengan mamanya, ataupun main ke rumahnya. Padahal dia udah berkali-kali main ke rumah Agni dan sudah kenal dengan orang tuanya, bahkan akrab dengan kakaknya. Jadi hari ini, Gabriel memaksa Agni agar datang ke rumah.
“Kakak! Nia tunggu dari tadi.” seorang gadis mungil muncul dari balik pintu. Gabriel merentangkan tangan dan memeluk gadis cilik itu.
“Hei putri kecilku, mama ada?” tanya Gabriel.
“Ada, lagi di atas.” gadis itu memandang Agni dan tersenyum. Agni membalas senyumannya.
“Kakak keatas dulu, kamu temenin dia disini, ya.” Gabriel menepuk kepalanya pelan dan melangkah pergi.
“Kakak pasti kak Agni!” katanya dengan nada riang. Agni tersenyum kecil.
“Iya, kok adik tau?” tanyanya.
“Kak Gabriel selalu cerita soal kakak. Katanya kakak itu cantik, baik, pinter, jago main gitar, bisa main basket lagi! Tiap malem kalo Tania lagi ke kamarnya, kak Iel pasti lagi ngeliatin foto kakak!” katanya polos. Agni tersenyum sendiri mendengarnya. Kalau dilihat, Tania memang mirip kak Gabriel.
“Wah, maaf ya jadi nunggu lama.” terdengar suara yang halus dan berwibawa dari belakang. Seorang wanita cantik dan semampai menuruni tangga. Pakaiannya elegan dan sepatunya yang berhak tinggi berbunyi ‘tak-tok-tak-tok’ di lantai marmer terdengar merdu. Gabriel mengikutinya sambil tersenyum. Tania langsung meghampiri wanita itu.
“Mammaa...” panggilnya manja. Wanita itu tersenyum, cantiikk sekali.
“Saya Nita, mamanya Gabriel. Kamu pasti Agni, Gabriel sering cerita soal kamu.” sapanya sambil tersenyum cantik. Agni hanya bisa tersenyum.
“Iya, tante..” katanya dengan suara yang sedikit bergetar. ‘Sekarang gue tau darimana Gabriel dapet tampang innocent kayak gitu!’ batinnya.
“Sesuai ceritanya, kamu memang manis.” pujinya. Agni tersipu malu. Dipuji manis oleh wanita secantik ini, mimpi apa gue semalem?!!
“Makasih tante, tapi Agni biasa aja.”
“Wah, malu-malu ya. Lucu banget, deh.” dia tertawa. Suara tawanya sangat renyah, enak didengar. “Tapi maaf ya, tante nggak bisa lama-lama. Ada rapat di kantor yang nggak bisa ditinggal.” sambungnya. Gabriel menyela.
“Tapi kan mama udah janji nggak kerja hari ini. Agni udah dateng jauh-jauh, ma.”
“Nggak apa-apa, kak. Kalo emang penting mendingan jangan ditinggal.” kata Agni.
“Tuh, Agni aja nggak masalah. Kok kamu yang repot, sih.” kata tante Nita. “Tante pergi dulu, ya. Nggak baik ngebuat orang-orang nunggu lama. Kamu santai dulu aja sama Gabriel, atau main sama Tania kalo mau.” katanya mengusap lengan Agni dan berjalan pergi.
“Huuhh! Kebiasaan deh, selalu ninggalin orang seenaknya!” gerutu Gabriel.
“Udahlah, kak. Hal kayak gini nggak usah dibawa repot.” kata Agni. Gabriel melirik Agni dan tersenyum jail.
“Iya, ya. Kan kita jadi bisa berdua..” Gabriel merangkul Agni. Bulu kuduk Agni berdiri. Agni langsung melepas rangkulan Gabriel.
“Jangan macem-macem, deh! Agni laporin kak Riko, nih!” ancamnya.
“Laporin aja, kita kan lagi di rumahku.” ucap Gabriel masih usil. Agni cemberut. Gabriel tertawa terbahak-bahak.
“Bercanda kok, bercanda! Jangan ngambek gitu, dong..”
“Jangan kayak gitu lagi! Nyebelin!”
“Iya.. iya cantiikk...” kata Gabriel. Agni teringat sesuatu.
“Hari ini bukannya hari Minggu, ya?” tanyanya. Gabriel melirik.
“Iya, kenapa?”
“Kakak nggak ke gereja? Agni nggak pernah ngeliat kakak ke gereja, deh.” tanyanya. Gabriel bungkam.
“Kak..?”
“Kak Iel nggak pernah ke gereja.” ucap Tania polos. Agni menoleh ke Tania.
“Kenapa?” tanyanya.
“Sejak ayah meninggal kak Iel nggak mau ke gereja lagi. Kakak marah sama Bunda Maria.” jelasnya. Agni kaget dan langsung menoleh ke arah Gabriel yang membelakangi mereka.
“Kenapa kak..”
“Nggak usah bahas soal itu. Itu bukan urusan kamu.” ucap Gabriel tajam. Agni tersentak, ini pertama kalinya Gabriel bersikap dingin padanya.

***

Gabriel baru menaiki tangga waktu namanya dipanggil.
“Gabriel..” Gabriel berhenti dan menghampiri mamanya.
“Kenapa, ma?” tanyanya.
“Duduk sini. Mama mau ngomong sama kamu.” tante Nita menunjuk sofa di depannya. Gabriel duduk.
“Anak yang bernama Agni itu pacar kamu, kan?” tanyanya.
“Iya, ma.” jawab Gabriel.
“Anak yang cantik, polos, sopan dan kelihatannya baik. Tania ngomongin dia terus dari tadi. Katanya dia ngajarin Tania main gitar, ya?” katanya. Gabriel tersenyum.
“Iya, Tania minta diajarin main gitar. Walaupun banyakan bercanda dari pada belajarnya.” Gabriel tersenyum lagi.
“Punya bakat bermusik juga. Dia jauh lebih baik dari semua cewek yang pernah kamu deketin, yang kebanyakan cuma bisa dandan. Kamu pinter cari pacar kayak dia.” pujinya. Gabriel tersipu malu.
“Yaah.. itu kan..”
“Putusin dia.” kata-kata tante Nita tajam dan menusuk. Gabriel tersentak.
“Put.. apa?!”
“Mama bilang putusin dia. Dia nggak pantes buat kamu.” ucapnya. Gabriel menatapnya tidak mengerti.
“Ma, tadi mama bilang dia baik, kenapa sekarang disuruh putus?! Apanya yang nggak pantes, ma?” tanya Gabriel.
“Harusnya kamu sudah tahu. Pertama, dia bukan dari kalangan kita. Kamu adalah seorang Gabriel Stevent Damanik! Kamu pewaris tunggal perusahaan kita yang sudah bertahan selama 50 tahun! Salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia. Kamu seharusnya bersanding dengan perempuan yang sederajat dengan kamu, dari kelas A. Bukan dengan anak seorang guru di kelas Z!” jelas mamanya. Gabriel terkekeh.
“Oh, derajat ya? Kenapa semua orang selalu ngeributin soal harta! Ini uang, itu uang! Kesini saham, kesana saham! Gabriel muak, ma! Gabriel bosen hidup kayak gini! Dari SMP Gabriel selalu diajarin bagaimana cara menjadi pemimpin perusahaan yang baik padahal Gabriel nggak pernah minta. Gabriel nggak pernah mau itu semua! Harta mungkin bisa ngebeli semua, tapi bukan hati Gabriel. Bukan perasaan sayang dan cinta Gabriel ke Agni. Nggak peduli siapa dia, yang Gabriel mau cuma dia dan akan selalu dia! Hal itu nggak akan pernah berubah. Mama harus inget itu.” Gabriel berdiri dan melangkah pergi.
“Kalian nggak mungkin bersatu. Nggak akan pernah bisa.” kata tante Nita. Gabriel berhenti.
“Kenapa nggak? Nggak ada yang nggak mungkin.”
“Pikirkan Gabriel, jalan kalian berbeda. Apa yang kalian yakini, semua berbeda.” katanya. Gabriel mengerutkan kening.
“Maksud mama?” tanyanya.
“Gabriel, kamu adalah seorang kristiani. Sedangkan dia..” tante Nita tidak meneruskan kata-katanya. Gabriel seperti tersengat listrik. Kata-katanya begitu menusuk hati Gabriel. Halangan yang paling besar, yang paling sulit disangkal adalah kenyataan bahwa mereka memiliki keyakinan yang berbeda. Gabriel bukannya nggak tau hal itu, tapi dia begitu menginginkan Agni. Masa bodoh soal perbedaan mereka!
“Sebuah hubungan dengan keyakinan yang berbeda nggak akan pernah berhasil. Kamu tau itu. Jadi, cepat atau lambat kamu harus memutuskan hubungan kalian. Sebelum kalian terlibat terlalu jauh.” tante Nita memegang pundak Gabriel. Gabriel menepisnya.
“Nggak..” kata Gabriel sambil menunduk. Tante Nita menghela napas.
“Gabriel..”
“Nggak..” Gabriel masih menunduk.
“Sayang..” tante Nita memegang wajahnya dan terkejut ketika melihat mata Gabriel yang merah.
“Nggak! Sampai kapan pun Gabriel nggak akan ngelepas Agni! Gabriel nggak mau, Gabriel nggak mau kehilangan dia! Gabriel nggak mau!!!!” Gabriel berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Tante Nita hanya menatapnya dari jauh.

cerbung IC : satu hati_part12

1 bulan kemudian...

“Ikut, yuk!” kata Agni dari beranda kamarnya. Cakka melirik.
“Kemana?” tanyanya singkat.
“Kita mau kemping, loe ikut ya!”
“Siapa aja yang ikut?”
“Gue, kak Iel, Angel, Dayat, Zeva, Sivia, Shilla, Alvin, Deva, sama Debo. Loe ikut ya? Nggak seru kalo loe nggak ada.” pinta Agni.
“Emang loe boleh sama bokap?”
“Boleh, gue udah bilang kok.”
“Berapa lama? Dimana?”
“Nanyanya lengkap amat. Takut nyasar?” ledek Agni.
“Yee.. sebelum jalan harus tau medannya dulu, dong!”
“Kita mau kemping di tempat kak Iel cs. biasa kemping. Deket air terjun manaa gitu. Ikut dong!” pinta Agni lagi. Cakka berpikir sebentar.
“Oke, gue ikut.” kata Cakka akhirnya. Agni bersorak.
“Yeeii!! Loe emang best friend gue! Kita nggak lama, kok. Jalan hari sabtu pulang hari Minggu. Jadi barang bawaan loe nggak usah banyak-banyak.”
“Eh, tadi loe bilang Sivia sama Shilla juga ikut? Ngapain tuh orang, emang pada tahan tidur di luar?”
“Tau, tuh. Gue juga heran. Tiba-tiba mereka bilang pengen ikut. Aneh kan?” kata Agni sambil meminum susu coklat yang dibuatnya.
“Gue jadi curiga, jangan-jangan mereka mau ngapa-ngapain loe lagi.” kata Cakka.
“Loe masih ngira mereka yang mutusin tali waktu pentas drama itu?”
“Gue yakin banget! Sivia kan ngiri sama loe, anak-anak juga setuju sama gue. Tim properti tuh yakin banget waktu malem sebelum pentas talinya bagus, baru diganti. Masa tiba-tiba putus gitu aja?” Cakka masih protes.
“Digigit tikus kali, emang gue aja yang lagi sial. Nggak usah mikir mace-macem, deh. Nggak baik tau curiga sama orang kayak gitu.” kata Agni enteng. Cakka angkat bahu.
“Tidur, yuk. Ngantuk gue.” ajak Agni. Cakka mengangguk.
“Sama, gue juga ngantuk. Met bobo ya cantiikk...” candanya. Agni melet-melet ke Cakka. Cakka tertawa dan menutup jendela kamarnya.

***

“Agnii.. tungguin gue doong..”
“Ayo dong, Ze. Masa udah lemes, sih! Kita baru setengah jalan.” kata Agni semangat. Zevana ngos-ngosan di belakangnya.
“Jangan samain gue sama loe, dong. Loe kan udah biasa manjat-manjat gini. Yang laen juga udah cape, tuh.” Zevana menunjuk Sivia dan Shilla yang udah ‘kelenger’ di belakang, Deva juga. Tadi mereka berangkat dari rumah naik mobil Dayat, tapi ternyata tempat mereka kemping tempatnya nggak bisa dilalui mobil. Jadi mau nggak mau mereka harus jalan kaki sampai kesana.
“Duh, kenapa sih harus ke tempat kayak gini? Udah panas, jauh, udah keringetan nih gue!” rengek Sivia.
“Kalo nggak suka ngapain ikut?” ledek Alvin. Sivia cemberut.
“Udah, nggak usah cemberut gitu lagi.” kata Shilla.
“Loe sih enak, barang-barang loe dibawain sama Dayat. Jelas aja nggak capek.” balas Sivia. Shilla tertawa.
“Iya, dong. Dayat kan pahlawan gue!” katanya sambil merangkul Dayat. Dayat cuma senyam-senyum.
“Hati-hati, Ag. Disini agak licin.” Gabriel memegang tangan Agni, membantunya berjalan. Sivia menatap mereka sinis. Cakka cuma diam. Setelah setengah jam berjalan, akhirnya mereka sampai di tempat yang luas dan datar. Agni terperangah melihatnya. Tempat ini berbeda dengan tempat yang mereka lalui tadi. Disini tanahnya berumput hijau dan rapi, di pinggirnya ada bunga-bungan yang tumbuh liar. Udaranya sejuk, suasananya begitu damai dan tenang. Gabriel tersenyum melihat Agni yang terlihat takjub.
“Kamu suka?” bisiknya. Agni menoleh dan tersenyum senang.
“Suka banget! Udaranya sejuk, tempatnya juga nyaman.”
“Tempat ini sengaja dirapiin buat hari ini. Aku mau kamu dapet pengalaman yang nggak bakal kamu lupain.” kata Gabriel. Agni tersenyum senang. Alvin berdehem.
“Ehm.. pasang tenda dulu, pasang tenda.” katanya. Gabriel tertawa dan merangkul Alvin. Agni berjalan ke tempat Zevana dan memasang tenda. Angel mengeluarkan perlengkapan mereka dari ransel. Agni satu tenda dengan Zevana dan Angel. Sivia memilih satu tenda dengan Shilla. Mereka mulai memasang tenda masing-masing. Setelah selesai, mereka membagi tugas untuk mencari kayu bakar.
“Siv, ayo jalan.” kata Deva.
“Kenapa harus gue, sih?!” tanyanya kesal.
“Soalnya dari tadi cuma loe yang nggak kerja. Ayo buruan! Lama nih.” Deva mulai kesal. Sivia menarik Shilla.
“Eh, kenapa gue dibawa-bawa, sih?!”
“Loe temenin gue!” Sivia tetep narik Shilla. Shilla cemberut. Mereka berjalan melewati hutan. Sivia mengibas-kibaskan kipasnya.
“Duh, mau kemana, sih?! Jauh amat!”
“Jangan protes mulu, napa! Bentar lagi juga sampe.” kata Deva jengkel. Sivia manyun.
“Aaahhh!!” Sivia langsung lompat ke Deva.
“Kenapa sih, loe?!”
“Itu, tadi ada bayangan di balik pohon!” Sivia panik.
“Mana? Mana?!” Shilla ikutan panik.
“Itu.. itu..” Sivia menunjuk ke balik sebuah pohon besar. Deva meliriknya.
“Serius loe?”
“Ya serius, lah! Ngapain juga gue boong!” katanya. Deva menelan ludah dan menghampiri pohon itu pelan-pelan. Makin dekat.. makin dekat.. tiba-tiba..
“Waaaa!!!” mereka semua berteriak. Ada sesuatu yang melompat keluar dari balik pohon. Deva membuka mata.
“Cuma monyet..” katanya lega. Sivia dan Shilla mendekat.
“Nggak apa-apa, cuma monyet kecil, kok.” Deva merogoh sakunya untuk mengambil makanan. “Nih, kamu mau?” monyet kecil itu menghampiri dan mengambil makanan dari tangan Deva dan memakannya.
“Iih, lucu ya.” kata Sivia.
“Iya, jadi pengen dibawa pulang.” kata Shilla.
“Ada yang punya makanan lagi nggak? Gue cuma bawa satu.” tanya Deva. Sivia dan Shilla menggeleng. Monyet kecil itu memandangi Sivia dan berlari mengambil kipasnya.
“Eh, kipas gue!” Sivia berlari mengejar monyet kecil itu ke arah samping hutan.
“Sivia!! Jangan kesana!” teriak Deva. Sivia tidak mendengarkan. Deva mengejarnya. Shilla bertanya.
“Emang kenapa disana?!”
“Disana itu..” belum selesai Deva ngomong terdengar teriakan dari sana.
“AAAAAAAHHH!!!! Tolooonggg!!!”
“Sivia!!!”

“Mau kemana sih, kak?”
“Kamu tunggu aja.” Gabriel menuntun Agni berjalan menapaki bebatuan. Matanya ditutup dengan saputangan. Setelah beberapa saat, mereka berhenti. Gabriel membuka tutup mata Agni. Agni membuka matanya dan menahan napas.
“Waaaahh...”
“Gimana?” tanya Gabriel.
“Ini.. ini hebat!” Agni takjub melihat air terjun yang luar biasa indah di depannya. Biasannya membentuk warna-warna seperti pelangi. Suaranya bergemuruh kuat. Agni hanya bisa diam. Gabriel memeluknya dari belakang.
“Dari kecil aku punya mimpi, kalau sudah besar nanti aku akan mempersembahkan pemandangan ini buat orang yang paling berharga buatku. Dan sekarang, itu semua terwujud. Berkat kamu.” Gabriel berbisik di telinga Agni. Agni tersenyum senang. Mereka duduk di salah satu batu yang ada disitu sambil berbincang. Tiba-tiba Agni terdiam.
“Kenapa?” tanya Gabriel.
“Kayaknya ada yang teriak minta tolong.” kata Agni. Gabriel mendengarkan.
“Nggak ada apa-apa, tuh.” katanya. Agni bangkit.
“Mendingan kita balik dulu, yuk. Perasaan Agni jadi nggak enak gini.” katanya. Gabriel mengangkat bahu.
“Oke, terserah anda Yang Mulia.” Gabriel menunduk hormat. Agni tertawa dan menggandeng tangan Gabriel. Sesampainya di tempat kemping mereka terkejut malihat Shilla yang panik.
“Kenapa, Cak?” tanya Agni. Cakka menoleh, raut mukanya berubah waktu melihat tangan Agni yang menggenggam erat tangan Gabriel.
“Eh, itu.. Sivia jatuh dari tebing.” suaranya datar. Mereka terlihat kaget.
“Kok bisa? Terus gimana?”
“Debo sama Alvin lagi ke perkampungan, mau pinjem tangga tali. Gue, Angel sama Cakka mau kesana liat keadaan. Dayat sama Shilla tunggu disini. Loe mau ikut?” tanya Zevana. Angel terlihat baru keluar dari tenda membawa sebuah ransel dan senter.
“Gue ikut!”
“Tapi Ag, disana bahaya.” Gabriel mencegahnya.
“Kita nggak mungkin ninggalin dia gitu aja, kak. Kasian Sivia.”
“Kalo gitu aku ikut. Aku nggak mungkin biarin kamu kesana sendiri.”
“Ya udah, kita jalan sekarang. Ntar keburu gelap.” Angel menyerahkan senter pada kami masing-masing. Kami pun pergi. Setelah lama berjalan, terdengar suara Deva memanggil.
“Heeiii!! Disini!!”
“Deva!!” mereka menghampirinya.
“Dimana Sivia?” tanya Agni. Deva menunjuk ke bawah. Terlihat Sivia yang sedang sesengukan disana.
“Sivia! Loe nggak apa-apa?” teriak Angel. Sivia menengok.
“Cepetan dong! Tangan gue sakit! Gue takut sendirian disini!” Sivia kembali menangis. Agni menatap Angel.
“Loe bawa kotak P3K, kan? Mana?” tanyanya. Angel mengeluarkan kotak itu dari ranselnya.
“Nih, buat apaan?” tanyanya. Agni mengambil senter dari tangan Cakka. Cakka langsung mengerti arah pikirannya.
“Loe jangan gila, deh!” katanya.
“Tebing kayak gini tingginya 6-7 meter. Tangannya pasti luka parah, kalo nggak diobatin bisa infeksi. Lagian, Alvin kayaknya bakal lama.”
“Tapi Ag..”
“Tenang aja, nanti gue bawain oleh-oleh.” katanya. Tanpa diduga oleh yang lain Agni langsung merosot turun ke bawah dan jatuh di semak-semak.
“Agni!” teriak Gabriel. Sejenak tidak ada jawaban.
“Agni!!” teriak Gabriel lebih keras. Lalu terlihat lampu senter yang menyala sebagai jawaban.
“Loe nggak apa-apa?!” tanya Zevana.
“Pendaratan sukses!” katanya dari bawah. Angel tertawa.
“Kenapa ketawa?” tanya Cakka.
“Nggak, lucu aja. Padahal kita serius, tapi disaat kayak gini dia masih bisa bercanda.”
“Yah, kalo nggak gitu bukan Agni namanya.” sahut Zevana. Agni menghampiri Sivia.
“Ngapain loe kesini?” tanya Sivia ketus.
“Mana luka loe?” kata Agni.
“Nggak usah sok baik sama gue karna gue nggak akan pernah baik sama loe.” kata Sivia masih ketus.
“Itu terserah loe.” Agni menarik tangan Sivia.
“Aduuuhh!! Sakiiit!!” Sivia meronta.
“Luka loe parah, harus dikompres trus dibalut.” Agni menengok keatas. “Angeel!! Loe bawa handuk nggak?!!” teriaknya. Angel mencari dalam ranselnya.
“Nggak ada!!”
“Bawa sesuatu yang dari kain nggak?!! Apa aja boleh!” teriak Agni lagi. Angel mengeluarkan lap dari ranselnya.
“Gue bawa lap! Bisa dipake nggak?!!”
“Lempar ke bawah!!” teriak Agni. Angel melemparnya tepat ke kepala Sivia.
“Aduuh!”
“Sori, darurat. Zeze bawa botol minum kan?!! Lemparin juga!” teriaknya lagi. Zevana melempar botol minumnya. Agni menangkapnya cepat.
“Mau ngapain dia?” tanya Gabriel. Cakka tertawa kecil.
“Kenapa ketawa?” tanya Zevana.
“Waktu kecil gue juga pernah jatoh dari tebing dan Agni yang nolongin gue. Bedanya, dia ngobatin luka gue pake daun sama ranting pohon.” kata Cakka.
“Dari kecil dia udah bisa kayak gitu?” tanya Angel nggak percaya.
“Semua kakaknya juga bisa. Dari kecil bokapnya udah ngajarin mereka macem-macem, makanya mereka bisa.”
“Mau ngapain loe?” tanya Sivia.
“Lurusin tangan loe.” Agni membasahi lap dan mengompres luka Sivia.
“Adduhhhh!!! Sakiit!! Pelan-pelan doongg!!!”
“Makanya loe diem! Jangan gerak-gerak.” Agni lalu membersihkannya dengan alkohol, memberinya obat dan membalut lukanya dengan sangat rapi. Sivia melihatnya takjub.
“Dari mana loe bisa ngebalut luka kayak gini?” tanyanya.
“Bokap gue yang ngajarin.” kata Agni sambil membersihkan tangan.
“Bokap loe dokter?”
“Nggak, cuma guru olahraga di SMA.”
“Loh, kok bokap loe bisa kayak gini?” tanya Sivia bingung. Agni tertawa.
“Guru olahraga di SMA bokap gue harus bisa ngelakuin hal-hal dasar kayak gini. Lagian gue juga pernah ikut PMR waktu SMP.” katanya.
“Ooh.. enak banget deh punya bokap kayak gitu, bisa ngajarin macem-macem. Nggak kayak bokap gue, nggak pernah di rumah.” katanya murung. Agni menatapnya.
“Bokap loe jarang pulang?”
“Paling pulang sebulan sekali, itu juga nggak lama. Cuma 2-3 hari doang. Bokap gue lebih mentingin kerjaan dari pada anaknya. Gue yakin ulang tahun gue minggu depan juga dia lupa.” Sivia bersandar pada tebing di belakangnya. Agni duduk di sebelahnya. Hari sudah gelap.
“Ceritain soal keluarga loe, dong.” kata Sivia.
“Buat apa?” tanya Agni.
“Buat ngabisin waktu aja, keluarga gue nggak punya apa-apa buat diceritain.” kata Sivia. Sejenak Agni merasa iba, akhirnya dia menceritakan semua tentang ayah dan ibunya, kakak-kakaknya, juga pershabatannya dengan Cakka. Sivia mendengarkan dengan antusias. Sakit di tangannya sudah nggak terasa lagi. Kegelapan juga nggak bikin dia takut, dia nggak ngerasa kesepian lagi sekarang. Waktu semakin lama berlalu, udara mulai dingin. Langit pun semakin gelap. Di tengah kegelapan, terlihat langit yang dipenuhi bintang dan bulan yang terlihat besar dari sini.
“Waah.. ternyata langit malam tuh indah banget..” ucap Sivia kagum.
“Lebih bagus lagi kalo nggak ada awan, semuanya terlihat jelas. Nah, yang itu namanya rasi biduk, kalo yang itu rasi bintang Scorpio.” Agni menunjuk langit.
“Kalo yang itu?” Sivia menunjuk langit timur.
“Yang itu namanya..”
“Agni!!”
“Sivia!!” mereka menoleh. Samar-samar terlihat tangga tali yang panjang turun ke bawah. Mereka bernapas lega. Agni membantu Sivia naik, lalu ia sendiri pun naik.
“Kalian kemana aja, sih?! Lama amat!” protes Sivia.
“Sori, kita kan jalan kaki. Rumah penduduk lumayan jauh lagi, mana jalannya licin, gelap.” kata Alvin.
“Untung Agni turun ke bawah nemenin gue, kalo nggak udah mati kebosenan gue! Ayo cepetan balik, gue ngantuk.” Sivia menarik Angel.
“Lagian siapa suruh jatoh ke bawah?” ledek Debo.
“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Gabriel cemas. Cakka mengambil kotak P3K-nya.
“Nggak, kok.” kata Agni. Gabriel menuntunnya sepanjang jalan sampai mereka tiba di lapangan kamp.
“Ag, kaki kamu kenapa?” tanya Gabriel panik melihat celana jeans Agni yang sobek dan berdarah.
“Oh, luka waktu turun tadi kali.”
“Masa loe nggak tau, sih?” tanya Zevana.
“Kan tadi gelap, jadi nggak keliatan.”
“Masa luka gini nggak kerasa, sih?! Ayo duduk.” Gabriel mendudukkan Agni di dekat api unggun yang sudah menyala dan mengobati lukanya.
“Luka loe lebih parah dari pada lukanya Sivia, loh.” kata Angel yang baru dateng.
“Cuma luka kecil, bentar lagi juga sembuh.” kata Agni santai.
“Waktu pelipis loe sobek gara-gara jatoh dari sepeda juga loe bilang gitu.” kata Cakka enteng. Agni melototin Cakka. Gabriel menatap Agni galak.
“Jangan selalu dibawa enteng, dong! Luka kecil gini kalo didiemin bisa jadi parah!”
“Iya, ntar kalo kamu kenapa-napa kan aku yang khawatir sayy..” ledek Dayat menirukan Gabriel.
“Iya say, aku minta maaf.. nggak lagi deh aku kayak gitu..” ledek Debo menirukan Agni sambil berpegangan tangan dengan Dayat.
“Luph yuu..”
“Luph yuu juga say..” Debo dan Dayat sok mesra. Semua yang melihat tertawa terbahak-bahak. Gabriel melempari mereka dengan kapas.

cerbung IC : satu hati_part11

“Nah, sedikit lagi selesai.” Angel merapikan baju Agni. Agni cuma diam. Pikirannya melayang kemana-mana.

“Gue mau minta maaf karna udah jadiin loe sebagai bahan taruhan, tapi apa yang terjadi antara loe sama Gabriel bukan bagian dari rencana. Setelah kenal loe, Gabriel beneran sayang sama loe. Dia udah bertekad akan ngelepas taruhan ini dan serius sama loe. Jujur, ini pertama kalinya dia serius sama cewek. Semua cewek sebelumnya cuma mainan buat dia, kecuali loe. Makanya gue mohon sama loe, maafin dia. Sekarang cuma ada loe di hatinya.”

Kata-kata Dayat terus berputar di pikirannya. ‘Apa mungkin Dayat bohong? Tapi buat apa? Apa mereka mau mainin gue lagi? Gue harus gimana sekarang?’ Agni memegangi kepalanya yang pusing.
“Pasti susah, ya?” kata-kata Angel menyadarkannya.
“Apanya?”
“Loe harus tampil ceria malem ini, padahal lagi banyak masalah. Kalo aja Gabriel nggak jadiin loe bahan taruhan, loe nggak akan kayak gini.”
“Gue nggak lagi mikirin itu, kok.” Agni berbohong.
“Loe pasti sayang banget sama dia.” kata Angel sambil terus menata baju yang Agni pakai.
“Nggak, biasa aja..” kata Agni pelan. Angel menggeleng.
“Kalo loe nggak sayang, loe nggak akan sesulit ini ngambil keputusan. Sikap loe yang bimbang antara maafin dia atau nggak ngebuktiin kalo loe sayang sama dia tapi nggak suka sama apa yang dia lakuin.” kata Angel. Agni terdiam. Kata-kata Angel memang benar.
“Mau tau pendapat gue? Gabriel emang ngeselin, tapi sebenernya dia baik, perhatian, penyayang dan bertanggung jawab. Dia nggak gampang suka sama cewek, tapi sekalinya suka dia akan sungguh-sungguh. Apapun akan dia lakuin buat cewek itu.” Angel menggenggam tangan Agni.
“Dia nggak bisa boong sama perasaannya sendiri. Jadi, kalo dia bilang sayang sama loe.. itu pasti bener. Bukan omong kosong.” Agni tersenyum mendengarnya. Angel mengambil kalung Agni yang diberikan oleh Gabriel dari atas meja. Agni melepasnya waktu mau memakai baju tadi.
“Loe nggak akan pernah nyesel sama Gabriel, dia akan selalu jagain loe.” Angel memakaikan kalung itu di leher Agni.
“Thanks..” katanya. Angel tersenyum.
“Sekarang loe harus siap-siap, bentar lagi mulai.” kata Angel. Agni mengangguk pelan dan pergi. Para pemain yang lain sudah bersiap di tempat masing-masing. Dari belakang panggung terdengar nyanyian Divo Idola. Agni kembali terbayang Gabriel, bagaimana perasaannya sekarang? Apa yang dipikirkannya?
Tirai ditutup. Suara nyanyian berganti menjadi tepuk tangan. Agni menyiapkan mentalnya, sekarang gilirannya. Musik mulai bermain, tirai pun dibuka.
Diambil dari kisah ‘Alice In Wonderland’ karya Louis Carrol.
“Gawat, terlambat! Terlambat!” seekor kelinci lewat tergesa-gesa di depan Alice.
“Duh, anehnya! Kok, kelinci pakai baju dan bisa bicara. Mana bawa jam lagi! Sebenarnya dia mau kemana, sih!” Alice kemudian mengejar kelinci itu. Musik bermain, Agni mulai bernyanyi. Dengan riangnya dia memainkan Alice, seakan tidak ada masalah sama sekali. Bagian demi bagian berlalu, pesta teh, tujuh lautan, 12 rasi bintang, cherry dan teh poci, maret, memberikan pasukan kartu pada keilinci, honey apple pie. Semua berjalan lancar. Penonton terlihat antusias dan sesekali tertawa melihat adegan yang lucu.
Gabriel bersandar di pintu masuk hall, memperhatikan Agni dari jauh. Dia masih mengenakan pakaian yang tadi digunakannya waktu tampil, kemeja dengan rompi dan celana panjang yang serba putih. Pikirannya melayang entah kemana.
Pertunjukkan mencapai puncaknya, bulan sabit memantul di ombak. Alice menyanyikan lagu dengan lembut di atas bulan. Penonton terhanyut suasana, sampai terdengar bunyi ‘SREK.. SREKK’. Bulan pun bergoyang, Agni tersentak. Dia menatap ke atas, talinya hampir putus! Agni berpegangan, penonton mulai panik. Dari belakang panggung terdengar suara orang-orang,
“Hei, kenapa ini?!”
“Talinya hampir putus! Kalo nggak cepat Agni bisa jatuh!”
“Semua, siapkan matras!”
“Sebagian ke atas! Tarik talinya!”
“Suruh mereka menutup tirai!”
Suara-suara itu semakin jelas dan ramai, penonton pun mulai ribut.
“Agni, turun dari sana!” suara Zevana terdengar.
“Agni, bahaya!” suara Oik.
“Awas!!”
Agni menatap mereka semua, pikirannya mulai kalut. Bulan bergoyang semakin keras. Karena panik, Agni kehilangan keseimbangan dan terpeleset.
“Aaaahh!!!!” Agni berpegangan pada bulan dengan tangan kirinya. Penonton semakin ribut. Di belakang panggung, seseorang tersenyum puas. Agni mencoba bertahan, tapi tidak lama. Tangannya mulai kesemutan. Disaat seperti ini, dia teringat Gabriel.

“Kakak hebat, deh. Selalu dateng tepat waktu Agni lagi susah.”
“Kayak pangeran, ya?”
“Nggak juga, kan pangeran pake baju putih. Dan selalu nolongin putri dari bahaya.”
“Jadi kamu baru akuin kakak sebagai pangeran, kalo pake baju putih dan nolongin kamu dari bahaya, gitu?”
“Agni kan bukan putri!”
“Tapi di hati kakak iya.”

Agni meringis, hatinya mulai terasa perih mengingatnya. Tangannya sudah tidak kuat lagi. Agni memejamkan matanya. Pegangannya terlepas! ‘Aku jatuuhh..!!’ teriaknya dalam hati. Penonton berteriak histeris. Cakka lagsung berdiri. Setelah itu, yang diingatnya adalah kehangatan di tubuhnya dan bunyi ‘BRUK!’ yang keras.

***

Agni membuka mata pelan, kepalanya terasa pusing tapi kehangatan itu masih terasa. Perlahan dia bisa melihat bulan yang terjatuh di atasnya, tapi bukan di atas badannya. Lalu ia mendengar suara yang lembut memanggil namanya.
“Agni.. Agni.. kamu nggak apa-apa?” katanya dengan nada cemas. Agni melihat seutas wajah yang sangat familiar. Wajah itu menatapnya dengan was-was.
“Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?” katanya lagi dengan nada suara yang masih cemas. Agni terenyuh, matanya mulai berembun. Air mata menetes ke pipinya. Langsung dipeluknya orang itu.
“Takut.. Agni takut..” katanya dengan suara parau karena menangis.
“Nggak apa-apa, ada aku disini.” orang itu memeluknya erat.
“Gabriel!” Gabriel menengok. Dayat berlari ke arahnya.
“Loe harus dibawa ke UKS!”
“Gue nggak apa-apa, kok.”
“Nggak apa-apa gimana! Loe ketiban badan bulan yang jatoh! Jangan bilang nggak apa-apa! Hei, dari pada loe semua bengong mendingan bantuin gue angkat ini!” Dayat berteriak pada orang-orang yang terdiam di belakang panggung. Mereka langsung berkerumun dan mengangkat bulan itu dari punggung Gabriel. Gabriel membantu Agni berdiri.
“Bisa berdiri?” tanyanya. Agni mengangguk pelan lalu berdiri. Gabriel membopongnya ke belakang panggung. Cakka yang melihat mereka terduduk lemas. Hatinya terasa sangat perih.
‘Bego! Kenapa juga gue punya pikiran buat nolongin dia?! Agni itu sukanya sama Gabriel, Gabriel!! Harusnya gue sadar kalo Gabriel nggak akan ngelepas Agni gitu aja! Cakka, loe tuh udah nggak dibutuhin lagi! Kapan loe bisa sadar?!!’ Cakka memaki dirinya sendiri.
“Heh! Ngapain loe bengong aja disini?! Ayo cepetan, Agni pasti butuhin loe!” Zevana menarik tangan Cakka. Cakka menepisnya.
“Dia nggak butuh gue, Gabriel ada disana.” katanya. Zevana menggelengkan kepala.
“Sejak kapan loe jadi lemah gini? Pliss Cakka.. loe sahabatnya! Sahabat yang selalu dia butuhin kapanpun! Jangan samain posisi loe sama Gabriel! Kalian berdua nggak sama. Kalo bukan loe siapa lagi yang bisa dia andelin?” kata Zevana di depan muka Cakka. Cakka mengangkat wajahnya. Kata-kata Zevana memang benar! Dia nggak bisa disamain sama Gabriel. Cakka berdiri dan langsung berjalan ke belakang panggung.
“Bagus! Sekarang gue yang ditinggal!” Zevana menggerutu.


“Untung nggak ada yang parah.” kata Dayat.
“Kan udah gue bilang nggak apa-apa, loe sih ngeyel.” sahut Gabriel. Mereka baru dari UKS memeriksa kondisi Gabriel. Walaupun dibuat dari bahan yang nggak berbahaya, tapi tetap saja bulan sebesar itu bisa melukai orang. Gara-gara kejadian tadi pertunjukkan dihentikan. Penonton yang cemas berkali-kali menanyakan kondisi Agni pada panitia dan guru. Mereka sampai kewalahan menanganinya. Gabriel dan Dayat berjalan menuju ruangan tempat Agni berada. Banyak yang berkumpul disitu, ada Zevana, Gita, Rahmi, Oik, Nova, Angel, Cakka (pastinya), Alvin, Ozy, Deva dan Debo. Mereka langsung menoleh waktu Gabriel masuk.
“Gimana keadaan loe?” tanya Gabriel. Agni hanya diam. Mereka yang tahu situasi memutuskan untuk pergi dari ruangan itu.
“Eh, kita keluar dulu ya. Kalo perlu apa-apa telfon gue aja.” kata Zevana sambil keluar diikuti dengan yang lain. Cuma Cakka yang tinggal.
“Ag? Loe nggak apa-apa, kan?” tanya Gabriel lagi.
“Dasar bodooooohhhhhh!!!! Loe tuh orang paling bodoh yang pernah gue kenal!!!” Agni malah teriak ke Gabriel. Jelas Gabriel kaget. ‘Apa salah gue?’
“Ag, apa gue salah?” tanya Gabriel nggak ngerti.
“Dasar! Loe gila ya?! Ngapain loe nolongin gue?! Kan jadi loe yang ketiban! Untung nggak apa-apa, coba kalo loe luka! Kalo loe kenapa-napa gimana?!” kata Agni masih teriak. Gabriel bengong sebentar lalu tertawa.
“Jadi loe khawatir sama gue?” tanya Gabriel geli.
“Ya iyalah!”
“Apa itu artinya loe udah maafin gue?” tanya Gabriel sambil tersenyum. Agni terdiam dan mengangguk.
“Gue nggak akan maafin diri gue sendiri kalo loe kenapa-napa.” Gabriel menatap mata Agni lurus dan memegang tangannya.
“Apa loe mau balikan sama gue lagi?” tanya Gabriel was-was. Apa Agni akan mengusirnya? Tanpa diduga Agni langsung memeluk Gabriel.
“Jangan pernah tinggalin gue lagi, jangan pernah..” kata Agni pelan. Gabriel menggeleng.
“Sampai kapan pun, loe nggak akan gue lepas.” Gabriel memeluknya erat. Dayat bernapas lega dan meninggalkan mereka. Cakka memalingkan muka dan pergi dari ruangan itu.
“Jadi itu keputusannya?” kata seseorang di depan pintu. Cakka terhenti.
“Agni udah nemuin orang yang pas buat dia. Jangan ganggu dia lagi.” kata Cakka pada orang itu.
“Loe sendiri? Apa loe rela ngeliat Agni sama orang lain?” tanyanya. Cakka terdiam. “Loe nggak bisa dapetin dia kalo selalu ngalah.” sambungnya. Cakka menatapnya lurus.
“Dan loe nggak bisa jadi orang yang berguna buat dia kalo selalu mengganggu. Agni menyayangi Gabriel, Gabriel juga. Jadi apa lagi? Apa harus ngorbanin perasaan orang lain buat kebahagiaan diri sendiri? Sori, itu bukan gue.” Cakka melangkah pergi.


Agni sedang membereskan barangnya waktu Rio masuk ke dalam ruangan. Gabriel sedang keluar.
“Loe balikan lagi sama Gabriel?” tanyanya. Agni menghela napas.
“Pliss.. gue mohon banget sama loe jangan hakimin gue lagi. Gue udah cape, yang gue mau sekarang cuma hidup dalam damai. Jadi apapun yang loe bilang gue nggak peduli dan nggak akan berubah pikiran.” kata Agni. Rio tertawa.
“Siapa yang mau hakimin loe? Gue cuma mau bilang kalian pasangan yang serasi. Dan Gabriel orang yang baik, dia bisa jagain loe.” jelas Rio. Agni bengong mendengarnya.
“Maksud loe?” tanya Agni heran.
“Gue kesini mau pamitan sama loe, besok pagi gue berangkat ke Manado ikut bokap gue dinas. Sekalian minta maaf buat semua yang gue lakuin sama loe selama ini.” kata Rio. Agni terdiam.
“Loe.. mau pindah?”
“Iya, gue cuma nggak enak kalo pergi tapi masih punya salah sama loe semua. Loe mau maafin gue, kan?” tanya Rio. Agni tersenyum.
“Gue udah maafin loe dari dulu, kok. Tapi sayang, padahal loe udah dapet banyak temen disini.”
“Yaah.. resiko kalo punya bokap TNI. Makanya loe kalo nyari cowok jangan kayak bokap gue, kasian anak loe ntar.”
“Kalo gitu gue nggak mau sama loe, ah.”
“Ya iyalah, loe kan udah punya Gabriel.” ledek Rio. Mereka berdua tertawa.
“Gue pasti kangen banget sama loe.” kata Rio. Agni tersenyum.
“Gue juga.” katanya. Rio mendekat dan memeluk Agni.
“Baik-baik, ya. Gue doain loe langgeng sama Gabriel seumur hidup loe.”
“Thanks, loe juga baik-baik ya. Gue doain loe dapet cewek yang tepat buat loe.”
“Kayaknya gue nggak bisa buka hati lagi buat cewek manapun. Soalnya hati gue udah sama loe.” ujar Rio. Agni memukul pundaknya pelan.
“Jangan gitu dong, kesannya gue tuh orang jahat yang nahan loe buat gue sendiri.” kata Agni. Rio tersenyum dan berjalan keluar ruangan.
“Gue pergi dulu, titip salam gue buat Cakka.” katanya.
“Pasti gue sampein.” Agni mengikutinya sampai pintu.
“Bye.. semoga kita bisa ketemu lagi.” ucap Rio sambil melangkah pergi. Agni hanya bisa memandang kepergiannya dalam diam. Ada perasaan damai yang sulit dijelaskan di dalam hatinya.

cerbung IC : satu hati_part10

Agni merebahkan tubuhnya di matras di belakang panggung. Keringat bercucuran di dahinya. Murid-murid yang lain mondar-mandir membereskan panggung. Hari ini hari terakhir latihan karena acaranya besok. Mereka baru saja selesai melakukan gladi. Angel sudah membuatkannya kostum tapi dia nggak boleh liat sebelum hari H. Nanti ketimpa sial, katanya. ‘Udah kayak gaun pengantin aja..’ batin Agni. Agni tiduran sambil memandang langit-langit. Badannya terasa lemas.
“Halo, sleeping beauty’..” tiba-tiba wajah Gabriel yang tampan langsung menggantikan langit-langit yang dari tadi dipandangi Agni. Agni kaget dan berusaha bangun.
“Kak..”
“Jangan bangun. Kamu pasti capek, istirahat lagi aja.” Gabriel mendorong bahu Agni agar tetap terbaring seperti tadi. Gabriel merebahkan diri di samping Agni. Mereka lalu terdiam.
“Kok kakak bisa tau Agni di sini?” tanya Agni membuka pembicaraan.
“Angel yang kasih tau, katanya kamu paling lagi tiduran di matras belakang panggung. Eh, ternyata bener.” Gabriel tertawa kecil. “Gimana latihannya?”
“Kayak biasa, cape. Keringet Agni aja sampe keluar semua.” kata Agni. Gabriel menatap wajah Agni dan mengelap keringatnya.
“Biar keringetan kamu tetep cantik.” kata Gabriel. Agni tersenyum manis. Lalu Agni menyadari ada sesuatu yang lain di wajah Gabriel.
“Kakak kenapa? Kok luka gini?” Agni bangun dan menyentuh ujung bibir Gabriel yang terlihat berdarah. Luka gara-gara dia berantem sama Rio waktu itu. Walaupun janji Rio yang bilang nggak akan ganggu hubungan mereka udah bikin hati Gabriel tenang, tapi tetep aja lukanya sakit.
“Oh, iya.. ini.. ke.. kepentok meja..” Gabriel berbohong.
“Mana mungkin kepentok meja lebam gini, kakak pasti berantem, ya? Sama siapa? Kenapa berantem?” tanya Agni dengan nada cemas dalam suaranya. Sebagian hati Gabriel senang karena Agni mencemaskannya, tapi sebagian lagi merasa bersalah. ‘Gimana kalo dia sampai tau semuanya? Gue pasti jadi orang yang paling dia benci sedunia.’ batinnya. Gabriel baru akan menjawab ketika seseorang mendahuluinya.
“Dia berantem sama Rio, gara-gara loe.” Gabriel tercekat. Langsung dia menoleh ke arah suara, Sivia!
“Sama kak Rio? Gara-gara gue?” ada perasaan khawatir di hati Agni begitu Sivia menyebut nama ‘Rio’. ‘Kenapa? Apa Rio nyakitin kak Gabriel gara-gara gue?’ batinnya.
“Iya, loe belum tau? Rio marah sama Gabriel karna loe udah jadian sama dia, dan ngancem akan ngebongkar rahasianya ke loe. Ujung-ujungnya berantem deh.” Sivia berkata dengan nada puas. Jantung Gabriel berdetak cepat, mukanya merah, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat. Angel yang melihat ada yang nggak beres, langsung menghampiri Agni.
“Kenapa, Ag?” tanyanya. Agni nggak menghiraukan pertanyaan Angel.
“Rahasia apa kak?” tanyanya ke Gabriel. Gabriel menggenggam tangan Agni erat, tapi tetap bungkam.
“Jadi loe nggak mau ngasih tau? It’s ok, biar gue yang ngasih tau dia.” Sivia memperlihatkan video yang diambil Shilla waktu nggak sengaja lewat di samping lapangan basket.

“Apa sih mau loe?! Loe mau pengakuan? Oke, gue akuin. Gue deketin Agni, dan jadian sama dia karna taruhan! Taruhan!”

Mata Agni terbelakak. Badannya langsung terasa lemas, hatinya terasa perih. Seperti ditusuk-tusuk beribu-ribu jarum. Angel menutup mulut dengan tangannya. Agni menatap Gabriel tidak percaya. Dilepaskannya tangan Gabriel.
“Ag, gue bisa jelasin semua..”
PLAKK!!
Satu tamparan telak menghentikan kata-kata Gabriel. Gabriel tersentak, tubuhnya langsung terasa kaku. Ditatapnya Agni, air mata menetes dari matanya.
“Ag, tolong jangan nangis..” Gabriel meraih tangan Agni, tapi langsung ditepisnya.
“Jangan pernah pegang tangan gue lagi..” kata Agni dengan suara bergetar karena menangis. “Jangan pernah deketin gue, jangan pernah panggil nama gue, dan jangan pernah nampakin muka loe di depan gue lagi! Gue nggak mau kenal sama loe!” Agni langsung berlari meninggalkan Gabriel yang hanya bisa mematung.
“Ag, Agniii!!!!”

Cakka menutup gagang telponnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Cakka berjalan menuju ruang tengah dan duduk di sebuah sofa besar. Dipandangnya sosok yang tertidur pulas di sampingnya. Bekas air mata masih tersisa di wajahnya. Cakka kembali teringat kejadian sore tadi. Waktu itu memang Cakka pulang duluan karna ada rapat basket di rumah pelatihnya, dia pulang dari sekolah jam 2 dan sampai di rumah jam 4. Saat Cakka sedang asik-asiknya nonton tv, terdengar bunyi bel dari pintu depan. Betapa kagetnya dia waktu membuka pintu dan mendapati Agni langsung menangis dalam pelukannya. Cakka yang bingung tidak berkata apapun dan langsung membawa Agni ke sofa. Dibiarkannya Agni menangis sepuas mungkin membasahi bajunya, lebih baik dilepaskan dari pada harus ditahan.
Setelah 2 jam, tangisannya berhenti dan langsung tertidur pulas di pangkuan Cakka. Cakka membiarkannya tertidur. Hatinya miris melihat Agni yang sangat ‘berantakan’, tapi Riko pasti khawatir karena sekarang sudah jam 7 dan Agni belum juga pulang. Jadi Cakka memutuskan untuk menelponnya dan mengabarkan kondisi Agni. Untungnya Riko mengerti, dia akan menunggu sampai Agni pulang atau membuka kunci jendela kamarnya kalau Agni mau langsung ke kamar. Orangtuanya sedang pulang kampung ke Jogja karena neneknya sakit dan baru pulang besok, jadi nggak ada yang memarahi. Toh, rumah Cakka di sebelah. Cakka tertawa kecil waktu Riko bilang ‘membuka jendela kamar Agni biar dia bisa lompat sendiri’. Dalam hati Cakka berharap, ‘semoga Agni lewat pintu depan..’


“Loe nggak apa-apa?” tanya Cakka dari balik jendela kamarnya. Agni baru saja pulang setelah menceritakan semuanya dan sesuai harapan Cakka, lewat pintu depan! Cakka nggak bisa ngebayangin kalo dia mau lompat dari kamarnya, gimana ekspresinya kalo tau fotonya ada di seluruh dinding kamar, kecuali yang menghadap kamar Agni. Agni mengangguk lemah. Di tangannya ada segelas coklat hangat yang dibuatkan oleh Cakka. Cakka tahu itu salah satu minuman kesukaan Agni.
“Nggak usah dipikirin, nanti loe sakit.” kata Cakka lembut.
“Gue cuma nggak habis pikir, apa bagi semua orang gue cuma mainan? Cuma boneka yang bisa mereka dandanin terus dibuang gitu aja? Apa nggak ada yang bener-bener tulus sama gue?” kata Agni lirih. Cakka meringis dalam hati, dia melompat masuk ke beranda kamar Agni. Cakka memegang wajah Agni dengan kedua tangnnya dan menatap matanya lurus.
“Loe masih punya gue, jangan lupa itu.” kata Cakka. Agni tersenyum kecil, air matanya kembali jatuh. Cakka membetulkan posisi duduknya dan menaruh kepala Agni di pundaknya.
“Jangan nangis lagi, nanti semua orang bisa ketawa kalo ngeliat Alice mukanya merah kayak badut.” Cakka mencubit hidung Agni. Agni memukulnya pelan.
“Dasar, loe.” katanya. Senyumnya mulai terlihat. Cakka tersenyum memandang Agni sambil mengusap kepalanya.

***

Ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat SMA Idola, karena hari ini adalah ulang tahun SMA mereka yang ke-10! Seluruh murid bersiap memberikan atraksi-atraksi terbaik dari ekskul mereka. OSIS mengadakan bazar dan ada juga food court ala SMA Idola. Agni berlari-lari sambil menggandeng tangan Cakka.
“Ayo, buruan! Gue mau beli itu gembul!” kata Agni riang. Cakka kewalahan di belakangnya.
“Loe mau apa lagi, sih? Loe kan udah beli gulali, es serut, es krim, es doger, es pocong, es duren, permen gulung, popcorn, bolu gulung, kue sus, kue lapis, pie buah, pie apel, omelet, roti bakar, roti panggang, pisang coklat, pisang keju, balon kupu-kupu, balon hati, balon spongebob juga udah!”
“Gue kan belom pernah makan masakan Jepang, mumpung disini ada gue mau beli dorayaki, kue dango, kue manju, okonomiyaki, terus...”
“Udaaahhh....!! Kalo yang begituan ntar gue titipin bokap! Sekarang gue mau duduk, dehidrasi nih!”
“Yaahhh...nggak seru, nih.”
“Lagian loe makan banyak banget, sih. Kalo sekarang loe makan begini banyak bisa-bisa nanti malem kostum loe udah nggak muat!”
“Eits.. jangan salah. Nona yang satu ini nggak gampang gemuk, jangan bandingin gue sama loe yang gembul gini, dong!” Agni menepuk-nepuk perut Cakka.
“Jangan salah, gembul gini ada isinya..”
“Apaan?”
“Balon udara! Udah mendingan loe beliin gue minum sana!” Cakka mendorong Agni.
“Iya.. iya..” Agni melangkah pergi sambil tetap membawa balonnya. ‘Gila! Tuh anak energinya banyak banget. Untung cuma setahun sekali, kalo tiap hari bisa kelenger gue!’ batin Cakka. Tapi Cakka bersyukur, Agni sudah kembali seperti semula. Setelah puas menangis perasaannya jauh lebih baik. Apalagi hari ini dia akan tampil, jadi harus terlihat sesegar mungkin. Walaupun bungsu, tapi Agni bukan anak yang manja. Dia bisa mengatasi masalahnya sendiri tanpa melibatkan orang lain yang nggak ada kaitannya. Riko tahu hal itu, makanya dia selalu membiarkan Agni sendiri kalau sedang ada masalah. Walaupun kelihatannya cuek, tapi Riko sangat menyayangi Agni, begitu pula Arsyad-Irsyad. Bagi mereka, Agni adalah anak emas yang harus dijaga. ‘Ngomong-ngomong, tadi dia bawa balon, kan? Apa nggak ribet bawanya, tuh anak kan ceroboh banget.’ batin Cakka.

“Es jeruk 1, es lemon 1.” Dea memberikan pesanan Agni.
“Makasih ya.” Agni mengambil pesanannya.
“Malem ini loe tampil, kan? Gue nggak sabar mau ngeliat loe, penampilan loe waktu hari ibu keren banget, sih.” ucap Dea. Agni tersipu malu. Dea adalah anak kelas 10-C. Dea kagum banget sama Agni, akhirnya mereka kenalan dan sampai sekarang berteman baik.
“Hehe.. thanks ya. Gue janji malam ini akan ngasih pertunjukkan terbaik yang pernah loe liat.”
“Siip deh.. loe bisa bawa minumannya? Tangan loe penuh, apa perlu gue bantuin?” Dea memandangi Agni yang tangan kirinya membawa 3 balon, d’crepes, dan es jeruk sedangkan tangan kanan membawa es melon dan d’crepes juga. Agni nyengir.
“Hehe.. nggak usah, tempat duduk gue deket kok.” kata Agni sambil berbalik. Dea mengangguk. Agni berjalan menjauhi counter, dia melangkah sangat hati-hati karena disini lumayan rame dan kedua tangannya penuh. Hampir saja es lemonnya jatuh kesenggol murid lain. ‘Harusnya tadi gue ajak si gembul kesini sekalian, ribet banget bawanya.’ batin Agni. Karena terlalu kencang memegang gelas, pegangan di balonnya menjadi longgar dan terlepas.
“Eehh.. yaah balon gue terbang dehh..”
“Sini, gue bantuin.” seseorang mengulurkan tangannya. Agni menoleh dan membuang muka.
“Nggak perlu.” jawabnya singkat sambil terus berjalan.
“Loe nggak bisa bawa semua sendirian, biar gue bantu bawain..”
“Gue bilang nggak ya nggak! Maksa banget, sih!”
“Gue tau loe pasti marah banget kan sama gue. Gue bener-bener minta maaf. Itu semua cuma permainan yang biasa gue lakuin sama Dayat. Nggak ada maksud buat nyakitin loe, gue..”
“Tapi nyatanya, gue sakit juga kan? Jadi nggak ada pengaruhnya loe bilang sekarang, besok, minggu depan, atau tahun depan juga gue pasti tetep sakit. Dan itu yang harus loe pikirin! Bukan kepuasan loe doang!”
“Ag, gue bener-bener sayang sama loe, bukan karna taruhan tapi ini tulus dari hati gue..” jelasnya. Agni berbalik pergi tapi Gabriel menarik tangannya dan mencengkram pundak Agni. Gabriel menatap mata Agni lekat-lekat.
“Loe liat sekarang, apa ada kebohongan di mata gue? Apa loe pikir gue lagi sandiwara sekarang? Coba liat baik-baik Ag, gue sayang sama loe!” Gabriel menatapnya. Agni mencoba mencari sesuatu disitu, kebohongan, keraguan, keegoisan? Tapi nihil. Yang ia temukan hanyalah mata bening Gabriel yang hampir basah tapi penuh dengan keyakinan hati. Agni bimbang sejenak, dia melepaskan diri dari cengkraman Gabriel dan menjauh pergi. Gabriel menatapnya dengan kecewa.
“Loe nggak apa-apa?” Dayat menghampirinya. Gabriel menunduk lemas.
“Ini semua salah gue, salah gue! Gue yang brengsek, yang egois, yang cuma mentingin diri gue sendiri! Ini semua salah gue!” Gabriel memaki dirinya sendiri. Dayat meletakkan tangannya di bahu Gabriel.

“Loe kemana aja, sih? Lama amat.” kata Cakka waktu Agni datang menghampirinya. Agni hanya diam. Cakka merasa ada yang tidak beres.
“Loe kenapa?” tanya Cakka. Agni menggeleng pelan dan menunduk.
“Loe mungkin pinter akting tapi loe nggak pinter boong. Kenapa, Ag?” tanya Cakka lagi. Agni mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil.
“Nggak.. nggak apa-apa. Nih minum loe, es jeruk kan? Gue juga beli crepes, siapa tau loe laper.” Agni menyerahkan minum dan makanannya pada Cakka lalu memakan makanannya sendiri. Cakka menerimanya dengan ragu. ‘Pasti ada masalah, masalah yang Agni nggak mau gue tau. Tapi kalo dia nggak mau bilang, biarin deh.’ kata Cakka dalam hati dan mulai memakan makanannya.


“Siv, ngapain sih kita disini?” tanya Shilla.
“Loe tinggal ikut gue aja pake ribut, sih! Udah liat aja.”
“Gue sih mau ngikutin loe kemana aja, tapi ke ruang peralatan gantung? Loe mau bunuh diri? Mana gelap, sumpek lagi!” Shilla mengeluh. Gimana nggak, Sivia ngajak dia ke ruang peralatan gantung di atas, tempat tim kreatif mereka menyimpan berbagai alat yang biasanya dipakai di langit-langit kayak lampu sorot, tali gantungan, dll. Dalam hati Shilla bersumpah nggak akan pernah kesini lagi!
Dalam kegelapan, Sivia menemukan benda yang dicarinya berkilau. Senyumnya mengembang. Diambilnya cutter yang dilihatnya di atas meja.
“Siv, itu kan..”
“Loe tau peraturan gue? Pertama, jangan pernah berani ngerebut cowok yang jadi inceran gue. Kedua, jangan pernah berani bikin gue malu di depan orang, karna gue bakal bikin loe lebih malu di depan orang yang lebih banyak. Anak kampung itu udah ngerasain akibat yang pertama, sekarang giliran dia ngerasain akibat yang kedua.” katanya sambil mengacungkan cutter di tangannya. Shilla tersenyum mengerti.

***

Agni duduk diam di depan meja rias. Wajahnya sudah di make-up, rambutnya sedang ditata sekarang. Orang-orang yang lewat semua memujinya cantik, tapi itu nggak memperbaiki suasana hatinya. Teringat kembali kejadian tadi.
“Ag, gue bener-bener sayang sama loe, bukan karna taruhan tapi ini tulus dari hati gue..”
“Loe liat sekarang, apa ada kebohongan di mata gue? Apa loe pikir gue lagi sandiwara sekarang? Coba liat baik-baik Ag, gue sayang sama loe!”

Agni memejamkan matanya, berharap semua itu akan hilang dengan sendirinya. Tapi sia-sia. Bayangan itu justru makin jelas terlihat. Sesaat hatinya bimbang, apa Gabriel mengatakan yang sejujurnya? Gimana kalo dia bohong, gue bakal sakit lagi. Tapi kalo dia jujur? Agni terus berdebat dengan hatinya. Kepalanya sakit.
“Agni, loe kenapa?” tanya Zahra. Sekarang yang sedang menata rambutnya adalah Zahra, kakak kelasnya dari kelas 11-Z yang pintar banget menata rambut. Agni melihat wajah Zahra yang terlihat cemas dari cermin.
“Loe sakit? Nggak enak badan?”
“Agni nggak apa-apa, kak.” katanya dengan senyum yang dipaksakan.
“Masa? Muka loe pucet gitu, kok. Padahal udah pake make-up. Mau minum obat biar lebih enak?” tanyanya lagi. Agni tersenyum, Zahra memang perhatian tapi juga panikan.
“Agni nggak apa-apa, kak. Nggak usah khawatir.” Agni menenangkan.
“Bener? Jangan maksain kalo nggak kuat, ya. Latihannya emang berat, sih. Tapi Alice harus keliatan ceria, nggak boleh murung biar bisa membawa penonton.” Zahra menasehati. Agni cuma tersenyum simpul.
“Nah, rambut udah siap, sekarang tinggal bajunya. Gue panggil Angel dulu, loe jangan kemana-mana dan jangan macem-macem! Nanti rambut loe rusak lagi.” kata Zahra mewanti-wanti. Agni mengacungkan jarinya membentuk ‘V’. Zahra tersenyum dan pergi meninggalkan Agni sendiri. Agni menatap bayangan dirinya di cermin. Bagus juga tangan Zahra. Rambut Agni yang cuma sebahu digerai dengan model berantakan, jadi terlihat lebih tebal dan berisi sekaligus menampilkan kesan ceria. Poninya juga ditata rapi, penuh menutupi dahi. Agni tersenyum puas dan mengambil botol minum di bawah meja riasnya. Lama duduk bikin haus juga.
Agni yang sedang minum air hampir memuncratkan semuanya ketika tiba-tiba melihat bayangan sosok berbaju putih sedang berdiri diam di depan pintu sambil memandangnya dari cermin. Agni mengelap mulutnya dan berbalik. Sosok itu mendekat.
“Jangan ngagetin, dong! Kan bisa ketok pintu dulu.” protes Agni.
“Gue mau ngomong sesuatu...”

cerbung IC : satu hati_part9

“Cak.. Cakka!” Agni memanggil Cakka. Cakka berbalik.
“Kenapa loe nggak bilang dulu sama gue?!”
“Gue.. gue nggak bermaksud..”
“Gue kira loe bener-bener sahabat gue! Sahabat nggak kayak gini, Ag!”
“Maaf.. gue kira loe pasti marah besar sama gue kalo loe tau soal ini. Makanya..” Agni menunduk.
“Iya! Gue emang marah banget sama loe sekarang! Gue mungkin nggak setuju, tapi gue nggak akan ngelarang apapun yang loe mau! Kalo itu keputusan loe, gue hargain semua! Tapi ternyata loe nggak ngehargain gue sama sekali!” bentak Cakka. Agni terdiam.
“Ma.. maafin gue Cak..” semuanya berantakan. Dia udah kehilangan cintanya, apa sekarang dia harus kehilangan sahabatnya juga? Cakka memandang Agni. Hatinya miris melihat gadis di depannya tertunduk menyesal. Cakka luluh, dia memeluk Agni.
“Sori.. gue jadi marah-marah sama loe.” kata Cakka. Agni menggeleng. Cakka mengelus-elus rambutnya lembut.
“Kalo loe nggak suka, gue bisa bilang sama kak Gabriel..”
“Apa loe bener suka sama dia?” Cakka memotong omongan Agni. Agni mengangguk.
“Lebih dari perasaan loe sebelumnya?” tanya Cakka. Agni terdiam. Cakka tersenyum.
“Nggak usah loe jawab. Kalo loe yakin sama dia, nggak usah bilang apa-apa. Jalanin aja hubungan kalian.”
“Tapi loe..”
“Jangan pikirin gue. Yang bikin loe seneng, apapun itu, akan gue kasih asal bisa liat senyum loe lagi.” kata Cakka. Agni tersenyum.
“Gitu dong..”

***

Shilla berlari-lari menuju kelas.
“Siv! Sivia!!” teriaknya.
“Apaan, sih? Berisik banget.” protes Sivia yang lagi main hp. Shilla ngos-ngosan.
“Loe udah denger kabar belum?!”
“Kabar apaan?” tanya Sivia tanpa berpaling dari hp-nya.
“Gabriel! Gabriel!” mendengar nama Gabriel, Sivia langsung berhenti.
“Kenapa Gabriel?”
“Gabriel jadian sama Agni!!!” Shilla setengah teriak. Mata Sivia terbelakak.
“Apaaaaaa?????!!!!! Gabriel jadian sama anak kampung itu??!!” teriak Sivia.
“Iya!! Gue dapet kabarnya dari anak-anak, katanya mereka sering ngeliat Gabriel sama Agni bareng. Pas ditanya, kata temen-temennya dia udah jadian sama Gabriel!”
“Anak kampung itu!! Dia udah ngerebut peran utama dari gue, sekarang dia mau ngerebut Gabriel dari gue juga!! Nggak akan gue biarin!”

***

Cakka merebahkan diri di kasur. Badannya terasa lelah, pikirannya jenuh. Hatinya perih begitu tahu Agni pacaran dengan Gabriel. Selama 7 tahun ini dia nggak mau pisah dari Agni. Cakka nggak pernah berani menyatakan perasaannya karna takut Agni menjauhinya, akibatnya dulu dia hampir saja kehilangan Agni karna seseorang. Tapi kali ini...
Cakka mengambil fotonya dan Agni di atas meja dan menatapnya.
“Apa loe nggak bisa ngerasain perasaan gue ke loe, Ag? Selama ini gue selalu bertahan ada di samping loe, kenapa loe nggak bisa ngerasain itu semua?” kata Cakka lirih. Matanya berembun, Cakka menatap dinding kamarnya yang hampir dipenuhi oleh foto-foto Agni. Foto mereka sejak kelas 3 SD sampai sekarang. Diambilnya notes dari dalam laci dan mulai menulis.

‘Cinta itu bahagia tapi menyakitkan’..
Saat kita mencintai kita bahagia, saat kita cemburu kita terluka
Kata orang, ‘cinta itu tak harus memiliki’..
Itu BOHONG !!
Semua orang ingin memiliki bahkan terkadang merasa harus memiliki
‘Dengan melihat orang yang dicintai bahagia kita pun ikut bahagia’..
BOHONG!!
Kita hanya pura-pura bahagia..
Disaat hati kita sakit, itu mengajarkan kita untuk menjadi munafik
‘Lebih bahagia dicintai dari pada mencintai’..
SALAH!!
Saat dicintai kita hanya merasa bangga..
Namun saat mencintai kita dapat merasakan arti bahagia..

Cakka berhenti menulis saat mendengar ketukan di jendela kamarnya. Dibukanya tirai kamar dan terlihat sosok gadis yang selama ini dicintainya tersenyum manis dari balik jendela.
“Nyokap gue bikin puding, dari pada makan sendiri mendingan makan sama loe aja. Loe belom mau tidur, kan?” kata Agni yang menyodorkan piring ke Cakka. Cakka tersenyum dan menutup notes-nya.
“Boleh gue makan semua, nih?” Cakka mengambil semua puding yang dibawa Agni.
“Eh, dasar maruk! Gue juga mau, Cakka! Balikin punya gue, dasar loe gembul, sini nggak!” Agni berusaha merebut piringnya dari tangan Cakka, tapi nggak sampai. Cakka tertawa dan melet-melet ke Agni. Agni cemberut. Cakka melompat ke beranda kamar Agni, menyendok puding dan menyuapinya.
“Sini, aaaa.....” Agni makan dari tangan Cakka.
“Gantian, gue yang nyuapin loe.” Agni menyuapi Cakka. Mereka berdua tertawa. Ada perasaan yang hangat di hati Cakka waktu melihat Agni tertawa. Cakka memandangi Agni. ‘Seenggaknya, gue masih bisa ada disamping loe sekarang.’
“Loe kenapa? Kok ngeliatin gue kayak gitu?” Agni membuyarkan lamunan Cakka. Cakka terus memandangi Agni.
“Gue cuma takut..” kata Cakka. Agni mengangkat alisnya.
“Ternyata loe bisa takut juga. Apa yang loe takutin?” tanya Agni.
“Gue takut nggak bisa kayak gini lagi. Nggak tau kenapa, gue ngerasa kebersamaan kita nggak akan lama.” Cakka menatap mata Agni. Agni terdiam dan menggenggam tangan dingin Cakka.
“Jangan ngomong kayak gitu, loe udah janji kalo kita akan sama-sama terus. Kita akan jadi sahabat selamanya.” kata Agni. Cakka miris mendengar kata ‘sahabat’ keluar dari mulut Agni.
“Gue takut kehilangan loe, Ag..” Cakka mempererat genggamannya.
“Gue nggak akan kemana-mana, loe nggak akan pernah kehilangan gue..” Cakka memeluk dan mempererat pelukannya di badan mungil Agni. Hari ini, detik ini, saat ini, Cakka ingin waktu terhenti sehingga dia bisa terus ada di samping gadis yang selama ini dicintainya, melihat indah tawanya, dan merasakan hangat peluknya, seperti sekarang.

***

Gabriel berlari-lari melintasi kerumunan orang. Hari ini hari Minggu dan harusnya dia janjian ketemu sama Agni di Dufan jam 10. Sialnya, Gabriel bangun kesiangan dan ban motornya kempes di jalan. Sekarang udah jam 11.45, Agni pasti udah bosen nungguin dia. Gabriel berjalan tersandung orang-orang yang berkunjung sambil matanya mencari sosok Agni. ‘Duh, kenapa di dufan harus banyak banget orang, sih?!’ gerutunya dalam hati.

Berkali-kali Agni melirik jam tangannya. ‘Udah hampir jam 12, kak Gabriel kemana sih? Masa dia lupa kalo kita janjian hari ini, kan dia yang ngajak jalan.’ kata Agni dalam hati. Agni meminum choco ice yang dipesannya. Saat sedang menunggu, ada seseorang yang duduk di kursi di depan Agni.
“Maaf, kursi itu udah ada yang..” kata-kata Agni terhenti begitu melihat sosok di depannya. Gambaran masa lalu kembali terlintas di pikirannya.
“Gue boleh kan duduk disini? Kursinya juga masih kosong.” katanya cuek. Agni cuma diam.
“Ngapain loe disini?” tanya Agni ketus.
“Jangan galak gitu, dong. Gue kesini bukan mau ngajakin loe perang, kok.”
“Terus apa urusan loe disini?”
“Emang nggak boleh? Gue kesini nemenin kakak gue yang lagi lomba. Kebetulan aja gue ngeliat loe.” katanya lagi. Agni memalingkan muka.
“Gue denger, loe udah jadian sama Gabriel?” tanyanya.
“Iya, emang kenapa?” kata Agni masih ketus.
“Loe harusnya nolak dia waktu..”
“Kenapa, sih?! Apa masalah loe?” Agni memotong omongannya.
“Dia cuma manfaatin loe doang, Ag! Gue tau itu. Dia nggak bener-bener sayang sama loe!”
“Jadi menurut loe, loe lebih baik dari dia?!”
“Ag, loe harus tau sebelum terlambat. Gabriel itu..”
“Gue kenapa?” mereka berdua menoleh. Gabriel berdiri di belakang mereka dengan terengah-engah. Agni langsung berdiri.
“Ag, dari tadi aku telfonin kamu kok nggak diangkat, sih?” tanya Gabriel. Agni mengambil hp-nya di saku celana. Ada tulisan ’10 missed call’ di layarnya. Semuanya dari Gabriel.
“Maaf kak, hp-nya aku silent.”
“Yaudah nggak apa-apa. Lagian sekarang juga aku udah ketemu kamu.” Gabriel tersenyum dan merangkul Agni.
“Ngomong-ngomong, ngapain loe disini, Yo?” tanya Gabriel pada Rio. Rio melirik Agni. Agni menunduk.
“Gue.. gue lagi nemenin kak Marcel lomba disini. Terus nggak sengaja ketemu sama Agni, kita ngobrol-ngobrol sebentar.” kata Rio.
“Iya, kak Rio nemenin aku tadi. Habis, kak Gabriel lama banget datengnya.”
“Sori, aku kesiangan bangun. Kamu nggak marah, kan?” kata Gabriel. Agni menggeleng.
“Jangan telat lagi.” katanya. Gabriel tersenyum dan mencubit pipi Agni yang tembem. Perlahan dada Rio mulai panas melihat mereka berdua.
“Iya, yuk jalan. Eh, makasih ya loe udah nemenin Agni.” kata Gabriel pada Rio. Rio hanya mengangguk pelan. Mereka berdua melangkah pergi. Sebelum jauh, Rio mendapati Gabriel menatapnya dengan tatapan sinis.


***

“Apa maksud loe?!” Gabriel mendobrak meja di depan muka Rio di dalam kelas waktu istirahat. Rio tersentak. Dayat yang melihat mereka berdua langsung menghampiri.
“Eh, eh, ada apaan nih?” tanya Dayat bingung.
“Gue tanya apa maksud loe ngomong kayak gitu ke Agni!” Gabriel berusaha memendam amarahnya. Dayat langsung mengerti arah pembicaraan mereka. Satu persatu anak-anak mulai masuk ke dalam kelas. Dayat menarik tangan Gabriel dan Rio keluar.
“Loe berdua ikut gue sekarang.” Dayat membawa mereka ke halaman belakang dekat lapangan basket. Jam istirahat, daerah ini sepi. “Sekarang jelasin masalahnya.”
“Orang ini..” Gabriel menunjuk Rio yang tetap tenang, “..dia berusaha ngancurin hubungan gue sama Agni!” teriak Gabriel. Dayat menatap Rio.
“Bener, Yo? Loe mau..”
“Kalo iya kenapa?” kata Rio tenang.
“Apa maksud loe mau bilang semua itu?!”
“Gue kayak gini biar dia nggak jadi salah satu dari banyak cewek yang udah loe sakitin! Sekarang loe boleh manis-manis dan manjain dia, tapi gue tau akhirnya loe bakal nyakitin dia juga! Gue nggak mau dia sakit lagi!” Rio melampiaskan semua amarahnya. Gabriel menatapnya.
“Oh, jadi sekarang loe mau sok jadi pahlawan?! Kurang ajar loe!” Gabriel mendorong Rio dan memukulnya. Rio yang nggak terima membalas pukulan Gabriel. Mereka saling pukul.
“Cukup, loe berdua cukup!!” Dayat melerai mereka. “Tahan emosi loe, Yel. Loe nggak boleh asal pukul. Dan loe Yo, loe nggak berhak ngomong apa-apa ke Agni..”
“Apa sih mau loe?! Loe mau pengakuan? Oke, gue akuin. Gue deketin Agni, dan jadian sama dia karna taruhan! Taruhan!” Gabriel mengatur emosinya. “Tapi itu dulu, sebelum gue kenal jauh sama dia. Tapi sekarang, gue serius. Gue bener-bener mau jadi cowok dia, gue mau jadi yang pertama dia inget, gue mau jadi satu-satunya orang di hatinya. Masa bodoh soal taruhan! Ambil semua uang gue kalo loe mau!” Gabriel mengeluarkan lembaran uang dari sakunya dan melemparnya ke Rio. Rio hanya diam.
“Jadi gue mohon sama loe, biarin gue tetep sama dia. Jangan bilang apapun, gue nggak mau kehilangan dia.” Gabriel memohon pada Rio. Rio bimbang. Di satu sisi, Agni adalah gadis yang selama ini dicintainya dan dia sendiri menginginkan Agni. Tapi di sisi lain, Gabriel adalah sahabatnya. Sebuah suara berbisik di hati Rio ‘Relakan Agni, apa loe tega ngeliat sahabat loe sendiri sakit?’ ‘Jangan biarin dia ngambil apa yang selama ini loe mau. Jangan biarin dia milikin Agni. Walaupun dia sahabat loe, bukan berarti loe harus ngalah, kan?’ bisik suara yang lain. Rio memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.


Shilla berlari-lari menuju toilet perempuan. Dilihatnya Sivia sedang menyisir rambut di depan cermin. Shilla langsung menariknya masuk ke salah satu pintu toilet yang terbuka.
“Apa-apaan sih, loe?! Masa masuk wc berdua? Jangan-jangan loe bosen sama Dayat terus berubah jadi lesbi lagi?? Hiii.....” Sivia bergidik.
“Terserah loe mau bilang apa, yang pasti gue punya kabar bagus buat loe.” kata Shilla semangat.
“Apaan?” tanya Sivia yang mulai tertarik. Shilla mengeluarkan sesuatu dan memperlihatkannya pada Sivia. Perlahan-lahan senyum Sivia mengembang. Shilla tersenyum puas.
“Loe emang temen gue yang paling cerdik!” katanya.