“Dari mana aja loe?” tanya Gita sambil cemberut begitu Agni sampai di kelas. Agni nyengir.
“Sori Git.. Tadi gue ada urusan.”
“Urusan sama siapa? Cowok loe itu?” tanya Gita.
“Cowok yang mana?”
“Pake pura-pura nggak tau lagi. Cowok yang tadi nganterin makanan gue. Dari omongannya sih, kayaknya serius.” kata Gita.
“Ooh.. maksud loe Cakka? Dia bukan cowok gue kok. Dia sahabat gue dari kecil.”
“Sahabat kok sampe segitunya..”
“Emang dia ngomong apaan?” Agni mengeluarkan buku tulisnya.
“Iya, pas nyamperin gue dia bilang, ‘sori, gue pinjem Agni dulu sebentar. Penting.’. Mana tampangnya serius gitu. Emang kenapa, sih? Kalian berantem?”
“Tadi pagi sih, iya. Tapi sekarang udah baikan kok..”
“Jadi cowok loe juga nggak apa-apa lagi. Tampangnya lumayan.” bisik Gita. Agni tertawa.
“Apaan sih!”
“Maaf..” ucap seseorang. Mereka menoleh.
“Gue mau bilang makasih karna loe udah belain gue tadi.” kata Rahmi.
“Nggak apa-apa lagi, santai aja.” Agni mengambil sesuatu di tasnya.
“Nih, gue yakin ini punya loe. Jatuh waktu kita tabrakan tadi.” katanya menyerahkan selembar kertas ke Rahmi. “Puisi loe bagus, harusnya loe ikut lomba. Pasti menang.” pujinya. Rahmi tersenyum.
“Makasih..” obrolan mereka terhenti begitu seorang guru masuk. Mereka kembali ke tempat masing-masing.
***
2 bulan kemudian...
“Haaaahhhh!!! Telaaaaatttt!!!!” teriakan Agni terdengar jelas dari kamarnya di lantai atas sampai ke meja makan. Mama geleng-geleng kepala.
“Dasar anak itu, udah SMA masih aja kesiangan. Padahal udah mama bilang jangan tidur malem-malem. Kan kasian Cakka harus nunggu lama-lama.” Mama menaruh nasi goreng di atas piring Cakka.
“Nggak apa-apa kok tante, Cakka juga sering ikut sarapan disini. Sekalian nunggu Agni. Hmm.. wanginya enak banget, pasti rasanya juga enak, nih.” katanya sambil menyuapkan makanan ke mulut.
“Yah, loe sabar-sabar aja. Masih 3 tahun loe sama dia, hati-hati gempor.” ucap Riko sambil lewat.
“Tapi loe boleh kesini kapan aja, Cak. Biar bisa ajarin kita main gitar. Iya, nggak?” tanya Irsyad pada Arsyad.
“Betul.. betul.. betul..” jawabnya. Cakka tersenyum senang. Sudah lama dia nggak ngerasain suasana hangat di dalam rumah. Selama ini ayah dan ibunya lebih sibuk pada pekerjaan dari pada dia. Semenjak kenal Agni, dia baru sadar kalau dia sangat merindukan suasana itu. Ada papa dan mama yang memperhatikan kebutuhan kita, ada kakak-adik yang meramaikan rumah. Karena Cakka anak tunggal, jadi dia menganggap Riko, Arsyad dan Irsyad adalah saudaranya sendiri. Dia selalu iri pada Agni, walaupun hidup mereka sederhana namun penuh kasih sayang. Sangat berbeda dengan hidupnya yang serba ada namun dingin.
“Berangkat Cakkaaa!!!” Agni yang baru nongol langsung menarik baju Cakka. Cakka sampai kaget.
“Agni, biarin Cakka makan dulu, dong!” kata mama.
“Nggak usah, ma! Perutnya udah gembul gitu masih mau diisi lagi. Ayo Cakkaa!!” teriaknya dari depan. Cakka langsung mengambil air dan meminumnya.
“Pergi dulu tante!” Cakka buru-buru.
“Pergi dulu ya, ma. Assalamualaikum!!” teriaknya dari atas motor yang mulai melaju. Mama geleng-geleng kepala.
“Hhh... hampir aja telat.” Agni bernapas lega.
“Makanya kalo bangun tuh pagian dikit. Emang loe ngapain aja sih sampe tidur malem-malem?” tanya Cakka.
“Dari mana loe tau kalo gue suka tidur malem?”
“Ya iyalah gue tau. Jendela kamar loe kan di depan jendela kamar gue nona.. nggak pernah geser 1 inci pun dari kelas 3 SD! Bangun dong, bangun!” Cakka menepuk kepala Agni.
“Wah, jangan-jangan selama ini loe suka ngintipin gue ya?!”
“Beuuh.. kurang kerjaan amat gue ngintipin loe. Kayak nggak ada yang lebih bagus lagi aja.” kata Cakka. Agni memincingkan mata.
“Maksud loe??”
“Nggak apa-apa..”
“Ngomong-ngomong, sejak kapan loe punya motor?” tanyanya.
“Udah lama kali, cuma baru sekarang gue pake. Abis makin hari loe makin berat aja, sih.”
“Sial loe!” Agni mengacak-ngacak rambut Cakka. Cakka balas mengacak rambut Agni. Tanpa sadar mereka sudah sampai di depan kelas Cakka.
“Gue duluan ya. Ketemu di lapangan basket jam 3?” tanya Cakka.
“Sip!” Agni mengacungkan jempolnya dan melangkah pergi. Dia mengeluarkan selembar kertas yang berisi lirik lagu yang akan dibawakannya hari Minggu nanti dalam rangka peringatan Hari Ibu. Agni ditunjuk untuk bernyanyi diiringi dengan backing vocal sambil memainkan gitar. Susah juga, pasti dia menjadi pusat perhatian. ‘Mendingan gue masuk tim basket aja.’ batinnya. Cakka sudah masuk tim basket. Sayangnya, sekolah ini nggak ada tim basket putri. Dan karena tiap siswa di sekolah ini diwajibkan memiliki minimal 1 ekskul, jadilah Agni memilih yang menurutnya paling menarik setelah basket. IMS (Idola Musical Studio), grup musik.
BRUK! Agni menabrak seseorang.
“Aduuhh...”
“Kamu hobi banget nabrak orang ya?” kata yang ditabrak Agni. Agni tersenyum kecil.
“Maaf kak. Agni lagi ngafalin lagu.” katanya.
“Udah dibilang jangan panggil ‘kak’ lagi. Panggil aja Gabriel.” Gabriel membungkuk dan mengambil kertas Agni yang terjatuh.
“Agni nggak biasa manggil nama sama yang lebih tua.”
“Cuma beda setahun kok.”
“Tapi tetep aja nggak enak.. kak.” katanya lagi. Gabriel tersenyum.
“Oke, terserah kamu aja. Kamu tampil di acara Hari Ibu? Ini lirik lagunya kan?” Gabriel menyerahkan kertas itu ke Agni. Agni mengambilnya.
“Iya, Agni ditunjuk buat nyanyi dari IMS.” kata Agni.
“Kamu anggota IMS? Kebetulan, kakak penanggung jawab acara itu, sekaligus Ketua Umum IMS.” katanya bangga.
“Kakak ketuanya? Setahu Agni ketuanya kak Debo, kok Agni nggak pernah ngeliat kakak disana?” tanya Agni.
“Ketua umum, lho. Kakak atasannya Debo.”
“Ooh.. pantesan aja. Berarti suara kakak bagus, dong.” puji Agni. Gabriel tersenyum.
“Yah, kalo mau tau bisa dicoba. Ketemu disana jam 1 kan?” tanya Gabriel.
“Iya. Agni duluan ya kak.” Agni pergi menuju kelas. Gabriel tersenyum puas.
“Rencana A berhasil. Tinggal tunggu perkembangan.”
“Loe ada hubungan apa sama Gabriel??” cerocos Gita waktu istirahat. Agni menatapnya heran.
“Apanya? Maksud loe apa?” Gita geleng-geleng kepala.
“Tadi gue liat loe ngobrol, asik banget sama Gabriel. Ayo bilang sama gue ada apa??” Gita agak memaksa.
“Serius? Loe kenal sama kak Gabriel?” sambung Rahmi yang baru dateng. Nah, loh! Nih lagi anak satu dateng-dateng langsung nyamber.
“Cuma ngobrol biasa kok. Emang kenapa sih, sampe histeris gitu?” tanya Agni heran. Rahmi dan Gita saling pandang.
“Kenapa loe bilang? Loe ngobrol sama seorang Gabriel Stevent Damanik!! Ketua OSIS and most wanted guy di SMA Idola dari kelas 11-A! Kalo GFC tau, pasti bakal abis loe!” kata Gita berapi-api yang disertai anggukan Rahmi.
“GFC apaan?” tanyaku polos.
“Haaaahh??? Loe nggak tau GFC?? Ya ampun Agni, loe 2 bulan disini kemana aja sihh??!” Gita menepuk-nepuk pipiku.
“GFC itu Gabriel Fans Club, klub penggemarnya Gabriel. Kebanyakan sih isinya cewek-cewek semua.” jelas Rahmi.
“Ya iyalah, kalo cowok kebanyakan gabung di fans club-nya Sivia. Namanya.. apaaa gitu (penulis nggak tau, maaf ya ^_^). Sivia itu Ratunya SMA Idola. Kalo pangerannya udah pasti Mario Stevano Aditya!” Gita senyam-senyum. Agni tersentak.
“Siapa tadi loe bilang?” tanya Agni.
“Mario Stevano Aditya, emang kenapa?” tanya Gita heran.
“Nggak, nggak apa-apa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar