1 bulan kemudian...
“Ikut, yuk!” kata Agni dari beranda kamarnya. Cakka melirik.
“Kemana?” tanyanya singkat.
“Kita mau kemping, loe ikut ya!”
“Siapa aja yang ikut?”
“Gue, kak Iel, Angel, Dayat, Zeva, Sivia, Shilla, Alvin, Deva, sama Debo. Loe ikut ya? Nggak seru kalo loe nggak ada.” pinta Agni.
“Emang loe boleh sama bokap?”
“Boleh, gue udah bilang kok.”
“Berapa lama? Dimana?”
“Nanyanya lengkap amat. Takut nyasar?” ledek Agni.
“Yee.. sebelum jalan harus tau medannya dulu, dong!”
“Kita mau kemping di tempat kak Iel cs. biasa kemping. Deket air terjun manaa gitu. Ikut dong!” pinta Agni lagi. Cakka berpikir sebentar.
“Oke, gue ikut.” kata Cakka akhirnya. Agni bersorak.
“Yeeii!! Loe emang best friend gue! Kita nggak lama, kok. Jalan hari sabtu pulang hari Minggu. Jadi barang bawaan loe nggak usah banyak-banyak.”
“Eh, tadi loe bilang Sivia sama Shilla juga ikut? Ngapain tuh orang, emang pada tahan tidur di luar?”
“Tau, tuh. Gue juga heran. Tiba-tiba mereka bilang pengen ikut. Aneh kan?” kata Agni sambil meminum susu coklat yang dibuatnya.
“Gue jadi curiga, jangan-jangan mereka mau ngapa-ngapain loe lagi.” kata Cakka.
“Loe masih ngira mereka yang mutusin tali waktu pentas drama itu?”
“Gue yakin banget! Sivia kan ngiri sama loe, anak-anak juga setuju sama gue. Tim properti tuh yakin banget waktu malem sebelum pentas talinya bagus, baru diganti. Masa tiba-tiba putus gitu aja?” Cakka masih protes.
“Digigit tikus kali, emang gue aja yang lagi sial. Nggak usah mikir mace-macem, deh. Nggak baik tau curiga sama orang kayak gitu.” kata Agni enteng. Cakka angkat bahu.
“Tidur, yuk. Ngantuk gue.” ajak Agni. Cakka mengangguk.
“Sama, gue juga ngantuk. Met bobo ya cantiikk...” candanya. Agni melet-melet ke Cakka. Cakka tertawa dan menutup jendela kamarnya.
***
“Agnii.. tungguin gue doong..”
“Ayo dong, Ze. Masa udah lemes, sih! Kita baru setengah jalan.” kata Agni semangat. Zevana ngos-ngosan di belakangnya.
“Jangan samain gue sama loe, dong. Loe kan udah biasa manjat-manjat gini. Yang laen juga udah cape, tuh.” Zevana menunjuk Sivia dan Shilla yang udah ‘kelenger’ di belakang, Deva juga. Tadi mereka berangkat dari rumah naik mobil Dayat, tapi ternyata tempat mereka kemping tempatnya nggak bisa dilalui mobil. Jadi mau nggak mau mereka harus jalan kaki sampai kesana.
“Duh, kenapa sih harus ke tempat kayak gini? Udah panas, jauh, udah keringetan nih gue!” rengek Sivia.
“Kalo nggak suka ngapain ikut?” ledek Alvin. Sivia cemberut.
“Udah, nggak usah cemberut gitu lagi.” kata Shilla.
“Loe sih enak, barang-barang loe dibawain sama Dayat. Jelas aja nggak capek.” balas Sivia. Shilla tertawa.
“Iya, dong. Dayat kan pahlawan gue!” katanya sambil merangkul Dayat. Dayat cuma senyam-senyum.
“Hati-hati, Ag. Disini agak licin.” Gabriel memegang tangan Agni, membantunya berjalan. Sivia menatap mereka sinis. Cakka cuma diam. Setelah setengah jam berjalan, akhirnya mereka sampai di tempat yang luas dan datar. Agni terperangah melihatnya. Tempat ini berbeda dengan tempat yang mereka lalui tadi. Disini tanahnya berumput hijau dan rapi, di pinggirnya ada bunga-bungan yang tumbuh liar. Udaranya sejuk, suasananya begitu damai dan tenang. Gabriel tersenyum melihat Agni yang terlihat takjub.
“Kamu suka?” bisiknya. Agni menoleh dan tersenyum senang.
“Suka banget! Udaranya sejuk, tempatnya juga nyaman.”
“Tempat ini sengaja dirapiin buat hari ini. Aku mau kamu dapet pengalaman yang nggak bakal kamu lupain.” kata Gabriel. Agni tersenyum senang. Alvin berdehem.
“Ehm.. pasang tenda dulu, pasang tenda.” katanya. Gabriel tertawa dan merangkul Alvin. Agni berjalan ke tempat Zevana dan memasang tenda. Angel mengeluarkan perlengkapan mereka dari ransel. Agni satu tenda dengan Zevana dan Angel. Sivia memilih satu tenda dengan Shilla. Mereka mulai memasang tenda masing-masing. Setelah selesai, mereka membagi tugas untuk mencari kayu bakar.
“Siv, ayo jalan.” kata Deva.
“Kenapa harus gue, sih?!” tanyanya kesal.
“Soalnya dari tadi cuma loe yang nggak kerja. Ayo buruan! Lama nih.” Deva mulai kesal. Sivia menarik Shilla.
“Eh, kenapa gue dibawa-bawa, sih?!”
“Loe temenin gue!” Sivia tetep narik Shilla. Shilla cemberut. Mereka berjalan melewati hutan. Sivia mengibas-kibaskan kipasnya.
“Duh, mau kemana, sih?! Jauh amat!”
“Jangan protes mulu, napa! Bentar lagi juga sampe.” kata Deva jengkel. Sivia manyun.
“Aaahhh!!” Sivia langsung lompat ke Deva.
“Kenapa sih, loe?!”
“Itu, tadi ada bayangan di balik pohon!” Sivia panik.
“Mana? Mana?!” Shilla ikutan panik.
“Itu.. itu..” Sivia menunjuk ke balik sebuah pohon besar. Deva meliriknya.
“Serius loe?”
“Ya serius, lah! Ngapain juga gue boong!” katanya. Deva menelan ludah dan menghampiri pohon itu pelan-pelan. Makin dekat.. makin dekat.. tiba-tiba..
“Waaaa!!!” mereka semua berteriak. Ada sesuatu yang melompat keluar dari balik pohon. Deva membuka mata.
“Cuma monyet..” katanya lega. Sivia dan Shilla mendekat.
“Nggak apa-apa, cuma monyet kecil, kok.” Deva merogoh sakunya untuk mengambil makanan. “Nih, kamu mau?” monyet kecil itu menghampiri dan mengambil makanan dari tangan Deva dan memakannya.
“Iih, lucu ya.” kata Sivia.
“Iya, jadi pengen dibawa pulang.” kata Shilla.
“Ada yang punya makanan lagi nggak? Gue cuma bawa satu.” tanya Deva. Sivia dan Shilla menggeleng. Monyet kecil itu memandangi Sivia dan berlari mengambil kipasnya.
“Eh, kipas gue!” Sivia berlari mengejar monyet kecil itu ke arah samping hutan.
“Sivia!! Jangan kesana!” teriak Deva. Sivia tidak mendengarkan. Deva mengejarnya. Shilla bertanya.
“Emang kenapa disana?!”
“Disana itu..” belum selesai Deva ngomong terdengar teriakan dari sana.
“AAAAAAAHHH!!!! Tolooonggg!!!”
“Sivia!!!”
“Mau kemana sih, kak?”
“Kamu tunggu aja.” Gabriel menuntun Agni berjalan menapaki bebatuan. Matanya ditutup dengan saputangan. Setelah beberapa saat, mereka berhenti. Gabriel membuka tutup mata Agni. Agni membuka matanya dan menahan napas.
“Waaaahh...”
“Gimana?” tanya Gabriel.
“Ini.. ini hebat!” Agni takjub melihat air terjun yang luar biasa indah di depannya. Biasannya membentuk warna-warna seperti pelangi. Suaranya bergemuruh kuat. Agni hanya bisa diam. Gabriel memeluknya dari belakang.
“Dari kecil aku punya mimpi, kalau sudah besar nanti aku akan mempersembahkan pemandangan ini buat orang yang paling berharga buatku. Dan sekarang, itu semua terwujud. Berkat kamu.” Gabriel berbisik di telinga Agni. Agni tersenyum senang. Mereka duduk di salah satu batu yang ada disitu sambil berbincang. Tiba-tiba Agni terdiam.
“Kenapa?” tanya Gabriel.
“Kayaknya ada yang teriak minta tolong.” kata Agni. Gabriel mendengarkan.
“Nggak ada apa-apa, tuh.” katanya. Agni bangkit.
“Mendingan kita balik dulu, yuk. Perasaan Agni jadi nggak enak gini.” katanya. Gabriel mengangkat bahu.
“Oke, terserah anda Yang Mulia.” Gabriel menunduk hormat. Agni tertawa dan menggandeng tangan Gabriel. Sesampainya di tempat kemping mereka terkejut malihat Shilla yang panik.
“Kenapa, Cak?” tanya Agni. Cakka menoleh, raut mukanya berubah waktu melihat tangan Agni yang menggenggam erat tangan Gabriel.
“Eh, itu.. Sivia jatuh dari tebing.” suaranya datar. Mereka terlihat kaget.
“Kok bisa? Terus gimana?”
“Debo sama Alvin lagi ke perkampungan, mau pinjem tangga tali. Gue, Angel sama Cakka mau kesana liat keadaan. Dayat sama Shilla tunggu disini. Loe mau ikut?” tanya Zevana. Angel terlihat baru keluar dari tenda membawa sebuah ransel dan senter.
“Gue ikut!”
“Tapi Ag, disana bahaya.” Gabriel mencegahnya.
“Kita nggak mungkin ninggalin dia gitu aja, kak. Kasian Sivia.”
“Kalo gitu aku ikut. Aku nggak mungkin biarin kamu kesana sendiri.”
“Ya udah, kita jalan sekarang. Ntar keburu gelap.” Angel menyerahkan senter pada kami masing-masing. Kami pun pergi. Setelah lama berjalan, terdengar suara Deva memanggil.
“Heeiii!! Disini!!”
“Deva!!” mereka menghampirinya.
“Dimana Sivia?” tanya Agni. Deva menunjuk ke bawah. Terlihat Sivia yang sedang sesengukan disana.
“Sivia! Loe nggak apa-apa?” teriak Angel. Sivia menengok.
“Cepetan dong! Tangan gue sakit! Gue takut sendirian disini!” Sivia kembali menangis. Agni menatap Angel.
“Loe bawa kotak P3K, kan? Mana?” tanyanya. Angel mengeluarkan kotak itu dari ranselnya.
“Nih, buat apaan?” tanyanya. Agni mengambil senter dari tangan Cakka. Cakka langsung mengerti arah pikirannya.
“Loe jangan gila, deh!” katanya.
“Tebing kayak gini tingginya 6-7 meter. Tangannya pasti luka parah, kalo nggak diobatin bisa infeksi. Lagian, Alvin kayaknya bakal lama.”
“Tapi Ag..”
“Tenang aja, nanti gue bawain oleh-oleh.” katanya. Tanpa diduga oleh yang lain Agni langsung merosot turun ke bawah dan jatuh di semak-semak.
“Agni!” teriak Gabriel. Sejenak tidak ada jawaban.
“Agni!!” teriak Gabriel lebih keras. Lalu terlihat lampu senter yang menyala sebagai jawaban.
“Loe nggak apa-apa?!” tanya Zevana.
“Pendaratan sukses!” katanya dari bawah. Angel tertawa.
“Kenapa ketawa?” tanya Cakka.
“Nggak, lucu aja. Padahal kita serius, tapi disaat kayak gini dia masih bisa bercanda.”
“Yah, kalo nggak gitu bukan Agni namanya.” sahut Zevana. Agni menghampiri Sivia.
“Ngapain loe kesini?” tanya Sivia ketus.
“Mana luka loe?” kata Agni.
“Nggak usah sok baik sama gue karna gue nggak akan pernah baik sama loe.” kata Sivia masih ketus.
“Itu terserah loe.” Agni menarik tangan Sivia.
“Aduuuhh!! Sakiiit!!” Sivia meronta.
“Luka loe parah, harus dikompres trus dibalut.” Agni menengok keatas. “Angeel!! Loe bawa handuk nggak?!!” teriaknya. Angel mencari dalam ranselnya.
“Nggak ada!!”
“Bawa sesuatu yang dari kain nggak?!! Apa aja boleh!” teriak Agni lagi. Angel mengeluarkan lap dari ranselnya.
“Gue bawa lap! Bisa dipake nggak?!!”
“Lempar ke bawah!!” teriak Agni. Angel melemparnya tepat ke kepala Sivia.
“Aduuh!”
“Sori, darurat. Zeze bawa botol minum kan?!! Lemparin juga!” teriaknya lagi. Zevana melempar botol minumnya. Agni menangkapnya cepat.
“Mau ngapain dia?” tanya Gabriel. Cakka tertawa kecil.
“Kenapa ketawa?” tanya Zevana.
“Waktu kecil gue juga pernah jatoh dari tebing dan Agni yang nolongin gue. Bedanya, dia ngobatin luka gue pake daun sama ranting pohon.” kata Cakka.
“Dari kecil dia udah bisa kayak gitu?” tanya Angel nggak percaya.
“Semua kakaknya juga bisa. Dari kecil bokapnya udah ngajarin mereka macem-macem, makanya mereka bisa.”
“Mau ngapain loe?” tanya Sivia.
“Lurusin tangan loe.” Agni membasahi lap dan mengompres luka Sivia.
“Adduhhhh!!! Sakiit!! Pelan-pelan doongg!!!”
“Makanya loe diem! Jangan gerak-gerak.” Agni lalu membersihkannya dengan alkohol, memberinya obat dan membalut lukanya dengan sangat rapi. Sivia melihatnya takjub.
“Dari mana loe bisa ngebalut luka kayak gini?” tanyanya.
“Bokap gue yang ngajarin.” kata Agni sambil membersihkan tangan.
“Bokap loe dokter?”
“Nggak, cuma guru olahraga di SMA.”
“Loh, kok bokap loe bisa kayak gini?” tanya Sivia bingung. Agni tertawa.
“Guru olahraga di SMA bokap gue harus bisa ngelakuin hal-hal dasar kayak gini. Lagian gue juga pernah ikut PMR waktu SMP.” katanya.
“Ooh.. enak banget deh punya bokap kayak gitu, bisa ngajarin macem-macem. Nggak kayak bokap gue, nggak pernah di rumah.” katanya murung. Agni menatapnya.
“Bokap loe jarang pulang?”
“Paling pulang sebulan sekali, itu juga nggak lama. Cuma 2-3 hari doang. Bokap gue lebih mentingin kerjaan dari pada anaknya. Gue yakin ulang tahun gue minggu depan juga dia lupa.” Sivia bersandar pada tebing di belakangnya. Agni duduk di sebelahnya. Hari sudah gelap.
“Ceritain soal keluarga loe, dong.” kata Sivia.
“Buat apa?” tanya Agni.
“Buat ngabisin waktu aja, keluarga gue nggak punya apa-apa buat diceritain.” kata Sivia. Sejenak Agni merasa iba, akhirnya dia menceritakan semua tentang ayah dan ibunya, kakak-kakaknya, juga pershabatannya dengan Cakka. Sivia mendengarkan dengan antusias. Sakit di tangannya sudah nggak terasa lagi. Kegelapan juga nggak bikin dia takut, dia nggak ngerasa kesepian lagi sekarang. Waktu semakin lama berlalu, udara mulai dingin. Langit pun semakin gelap. Di tengah kegelapan, terlihat langit yang dipenuhi bintang dan bulan yang terlihat besar dari sini.
“Waah.. ternyata langit malam tuh indah banget..” ucap Sivia kagum.
“Lebih bagus lagi kalo nggak ada awan, semuanya terlihat jelas. Nah, yang itu namanya rasi biduk, kalo yang itu rasi bintang Scorpio.” Agni menunjuk langit.
“Kalo yang itu?” Sivia menunjuk langit timur.
“Yang itu namanya..”
“Agni!!”
“Sivia!!” mereka menoleh. Samar-samar terlihat tangga tali yang panjang turun ke bawah. Mereka bernapas lega. Agni membantu Sivia naik, lalu ia sendiri pun naik.
“Kalian kemana aja, sih?! Lama amat!” protes Sivia.
“Sori, kita kan jalan kaki. Rumah penduduk lumayan jauh lagi, mana jalannya licin, gelap.” kata Alvin.
“Untung Agni turun ke bawah nemenin gue, kalo nggak udah mati kebosenan gue! Ayo cepetan balik, gue ngantuk.” Sivia menarik Angel.
“Lagian siapa suruh jatoh ke bawah?” ledek Debo.
“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Gabriel cemas. Cakka mengambil kotak P3K-nya.
“Nggak, kok.” kata Agni. Gabriel menuntunnya sepanjang jalan sampai mereka tiba di lapangan kamp.
“Ag, kaki kamu kenapa?” tanya Gabriel panik melihat celana jeans Agni yang sobek dan berdarah.
“Oh, luka waktu turun tadi kali.”
“Masa loe nggak tau, sih?” tanya Zevana.
“Kan tadi gelap, jadi nggak keliatan.”
“Masa luka gini nggak kerasa, sih?! Ayo duduk.” Gabriel mendudukkan Agni di dekat api unggun yang sudah menyala dan mengobati lukanya.
“Luka loe lebih parah dari pada lukanya Sivia, loh.” kata Angel yang baru dateng.
“Cuma luka kecil, bentar lagi juga sembuh.” kata Agni santai.
“Waktu pelipis loe sobek gara-gara jatoh dari sepeda juga loe bilang gitu.” kata Cakka enteng. Agni melototin Cakka. Gabriel menatap Agni galak.
“Jangan selalu dibawa enteng, dong! Luka kecil gini kalo didiemin bisa jadi parah!”
“Iya, ntar kalo kamu kenapa-napa kan aku yang khawatir sayy..” ledek Dayat menirukan Gabriel.
“Iya say, aku minta maaf.. nggak lagi deh aku kayak gitu..” ledek Debo menirukan Agni sambil berpegangan tangan dengan Dayat.
“Luph yuu..”
“Luph yuu juga say..” Debo dan Dayat sok mesra. Semua yang melihat tertawa terbahak-bahak. Gabriel melempari mereka dengan kapas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar