Jumat, 02 Juli 2010

cerbung IC : satu hati_part14

“Duuh.. Zeze bantuin, dong!” Agni menggapai-gapai. Tangannya sudah kotor kena macem-macem kotoran dari pohon. Zevana mengangkat bahu dan lari meninggalkan Agni. Istirahat ini mereka (Agni, Rahmi, Gita, Oik, Zevana) pergi ke pohon besar di belakang sekolah seperti biasa. Seperti biasa juga, Agni dan Zevana tiduran di atas salah satu dahan pohon itu. Yang lainnya memilih istirahat di bawah. Lagi asik-asiknya tidur, tiba-tiba dahan yang mereka tiduri patah. Alhasil, Agni dan Zevana jatuh ke bawah dan lebih parah lagi harus ‘ngumpetin’ dahan pohon yang guedeee banget itu sebelum ketahuan guru. Eh, bukannya bantuin, Zevana malah kabur!
‘Dasar! Giliran begini aja kabur! Awas ntar di kelas!’ maki Agni dalam hati.
“Lagi bersih-bersih?” kata seseorang. Agni mengenali suara itu.
“Jangan ledekin gue, deh.. mendingan loe jadi orang yang berguna dan bantuin gue angkat ini!” kata Agni.
“Lagian loe juga sih, cewek kok pecicilan banget. Pake naik-naik pohon segala lagi.” katanya sambil tertawa. Dia menghampiri Agni dan membantunya mengangkat dahan pohon besar itu ke bagian belakang taman. Agni membersihkan tangannya.
“Hhh... hampir aja.” katanya lega.
“Untung ada gue.” kata orang itu bangga.
“Iya.. makasih ya Cakka Kawekas Nuragaaa....”
“Loe ketinggalan gelar ‘yang ganteng’” Cakka tertawa. Agni geleng-geleng kepala.
“Loe nggak pernah berubah. Dari dulu sampe sekarang teteeep aja narsis!” Agni berbalik. Cakka berjalan di sebelahnya.
“Loe juga nggak pernah berubah.” kata Cakka.
“Apanya?”
“Dari dulu teteeeepp aja nggak mau ngakuin kalo gue cakep.” kata Cakka sambil melirik Agni. Agni mengernyitkan dahi.
“Please, deh! Gue bukannya nggak mau ngakuin loe cakep, tapi loe emang nggak cakep. Mendingan gue ngeliatin Alvin, ketauan cakepnya.”
“Eitss.. jangan salah. Gue sama Alvin 11-12! Dia kembaran gue, tau!” Cakka masih tetep pede.
“Ya Tuhan.. apa salah hamba sampai Engkau memberikan hamba sahabat seperti dia..” kata Agni yang bergaya berdoa dan memohon. Cakka tertawa.
“Tuhan.. pasti hamba orang yang sangat baik, rajin, jujur, dan patuh padamu. Engkau pasti sangat menyayangi hamba..” Cakka menirukan Agni. Agni menatap Cakka nggak percaya. ‘Nih orang narsis gila!’ batinnya. Cakka lalu tersenyum dan merangkul Agni.
“Karena Engkau mengirimkan seorang bidadari cantik dan baik hati untuk menemani hari-hari hambamu yang kesepian ini. Aku pastilah orang yang sangat beruntung..” lanjutnya. Agni menoleh, matanya beradu dengan mata Cakka yang juga menatapnya. Agni menatap mata Cakka, ada sesuatu yang disembunyikan olehnya tapi Agni tidak tahu apa. Agni merasa ada kerinduan dalam dirinya terhadap sahabatnya itu. Sudah lama mereka tidak sedekat ini, mungkin 2-3 tahun lalu? Sekarang mereka semakin dewasa dan semua terasa berbeda.
Cakka menatap mata Agni. Mata hitam dan bulat yang sangat cantik. Cakka selalu mengagumi keindahan yang ada pada diri Agni. Agni yang polos, yang peduli dan hangat pada orang lain. Dia jatuh cinta pada Agni sejak gadis itu mengulurkan tangan pada Cakka kecil yang menangis karena semua menjauhinya. Senyumnya mampu meredam semua kesedihan yang ada di hati Cakka, sampai sekarang. Cakka tidak dapat menahan perasaannya yang bergejolak saat ini. Tangannya meraih wajah manis Agni. Agni tersentak.
“Cakka..”
“Sstt.. diam..” Cakka menaruh jarinya di depan bibir mungil Agni. Agni terdiam. Cakka mendekatkan wajahnya ke wajah Agni. Jantungnya berdetak kencang.

***

Gabriel membanting buku yang dibawanya ke atas meja. Dayat yang lagi ngobrol sama Shilla tersentak kaget.
“Loe kenapa, sih? Dateng-dateng ngamuk!” kata Dayat sewot.
“Tau, ganggu orang aja.” sambung Shilla.
“Diem loe!” Gabriel membentak Shilla. Dayat langsung berdiri.
“Heh, ada masalah apa loe sama cewek gue?! Biasa aja dong, nggak usah pake sewot!” Dayat membela Shilla. Gabriel menghempaskan dirinya di kursi. Dia merasa sangat kesal, emosinya memuncak. Kejadian tadi masih terbayang di pikirannya. Gabriel berjalan menuju taman belakang untuk menemui Agni (Zevana bilang Agni disana). Dia bermaksud mengajak Agni pulang bareng karena Tania sakit dan dirawat di RS. Tapi yang didapatnya adalah pemandangan yang membakar hatinya. Memang dia menemukan Agni, tapi bersama Cakka yang hendak menciumnya! Saat itu juga rasa cemburu menjalari hati Gabriel.
“Loe salah sangka kali.” Dayat menenangkan Gabriel.
“Salah sangka apanya, sih?! Dimananya yang salah, loe pikir mata gue rusak?!” Gabriel masih sewot. Dayat menghela napas dan menoleh ke Shilla yang duduk di sampingnya. Shilla mengangkat bahu.
“Jelas-jelas Cakka itu mau ngerebut Agni dari gue! Kalo loe di posisi gue, gimana perasaan loe?!”
“Kenapa loe nggak nanya dulu sama Agni? Dari pada loe kelabakan kayak orang kebakaran jenggot.” kata Dayat. Gabriel terlihat berpikir.
“Loe pikir dia mau bilang yang sebenernya sama gue?” tanya Gabriel. Dayat mengangguk.
“Yang paling penting loe harus percaya sama dia. Kunci utama hubungan yang langgeng itu saling percaya.” kata Dayat sambil menggenggam tangan Shilla. Shilla tersenyum. Gabriel menatap mereka berdua. Kadang dia iri pada Dayat dan Shilla yang selalu terlihat nyaman, padahal mereka jadian dari kelas 3 SMP! Dan sampai sekarang mereka masih bertahan. Gabriel menerawang. ‘Coba kalo gue sama Agni bisa kayak mereka.’ batinnya.

“Siviaa!!” Shilla merangkul Sivia dari belakang.
“Aduduhh.. loe kenapaa lagi?” tukas Sivia yang lagi menelepon.
“Lagi nelpon siapa, loe?” tanya Shilla.
“Bukan urusan loe kaliii...”
“Yee.. pelit! Gue punya good news nih!” kata Shilla.
“Good news apaan?”
“Tadi waktu gue sama Dayat lagi ngobrol, tiba-tiba Gabriel dateng trus cerita kalo dia sama Agni lagi ada masalah gitu. Nah, gue pikir sekarang waktunya loe bertindak! Mumpung ada kesempatan..” kata Shilla. Sivia terlihat berpikir.
“Males, ah.” katanya. Shilla melongo.
“Males? Udah setahun loe ngejar Gabriel, sekarang waktu ada kesempatan bagus loe bilang males?? Kepala loe kejedot tembok ya??” Shilla memutar-mutar kepala Sivia.
“Aduuhh.. udah deh nggak usah dibawa ribet! Kalo Gabriel mau sama Agni ya udah biarin aja, nggak usah ngurusin urusan orang, deh!” kata Sivia cuek. Shilla menatapnya curiga.
“Tunggu, tunggu.. jangan-jangan loe udah punya kecengan baru? Siapa? Anak mana? Jangan-jangan yang lagi telfonan sama loe lagi!” tuduh Shilla.
“Apaan sih, loe. Nggak jelas banget.” Sivia mengelak. Shilla tersenyum mengejek.
“Aah.. curang loe! Punya kecengan nggak bilang-bilang gue.. nanti gue..” omongan Shilla terpotong hp-nya yang berbunyi. Shilla mengangkatnya dan pergi meninggalkan Sivia. Sivia bernapas lega.
“Sori, omongan kita jadi kepotong, nih.” Sivia berbicara melalui hp-nya.
“Shilla itu nggak pernah berubah, ya. Masih aja cerewet.” kata orang di seberang.
“Emang, gue aja kadang heran kenapa Dayat bisa betah banget sama dia.” kata Sivia. Orang itu tertawa.
“Kalo itu sih emang rancangan nasib! Tapi dia kan sahabat loe juga.” katanya.
“Iya, biarpun ngeselin tapi dia emang sahabat terbaik gue. Ngomong-ngomong, kapan loe balik ke Jakarta?” tanya Sivia.
“Yah, kalo tugas bokap gue di Manado udah selesai juga gue pinginnya balik lagi.” jawabnya.
“Oh, syukur deh. Tapi..” bel tanda istirahat usai memotong kata-kata Sivia. “Eh, udah bel masuk nih. Udahan dulu ya, ntar gue sms.” kata Sivia.
“Oh, oke. Tiitp salam gue buat Dayat n Gabriel, ya. Bilang gue kangen banget sama mereka.”
“Siip..”

***

“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Gabriel. Agni menggeleng.
“Agni masih mau disini.” kata Agni pelan sambil bersandar di pundak Gabriel. Gabriel heran, sejak pulang sekolah tadi sikap Agni sangat manja, atau mungkin bisa dibilang sangat aneh? Dia nggak mau jauh-jauh dari Gabriel, tangannya nggak mau lepas dari lengan Gabriel. Mereka hanya berpisah paling jauh waktu Gabriel ke toliet. Gabriel jadi bingung sendiri. Sekarang mereka berada di rumah sakit tempat Tania dirawat karena sakit tifus.
“Ag, kamu nggak apa-apa? Kamu sakit?” Gabriel mengusap dahi Agni. Agni menggeleng.
“Mau makan? Kamu belum makan siang, kan?” tanya Gabriel. Agni menggeleng lagi. Gabriel menghela napas.
“Kamu kenapa sih, Ag? Jangan diem kayak gini, dong. Ada yang mau kamu omongin? Kalo ada masalah bilang aja..” Gabriel mengusap rambut Agni lembut.
“Agni cuma mau sama-sama kak Gabriel, itu aja.” Agni mempererat pegangannya. Gabriel menarik napas.
“Ya udah, terserah kamu aja. Tapi kalo kamu perlu temen curhat, aku siap dengerin cerita kamu.” kata Gabriel. Agni tersenyum kecut, mana mungkin dia bilang sama Gabriel soal kejadian tadi siang. Bisa-bisa Gabriel nggak mau ketemu dia lagi! Agni memejamkan matanya. Gabriel melepaskan tangannya dan menyandarkan kepala Agni di bahunya. Tangannya mendekap badan mungil Agni. Agni menarik napas. Rasanya nyaman sekali, hangat dan membuat perasaan jadi tenang. Agni kembali terpejam.
Gabriel tersenyum melihatnya. Waktu pertama kali kenal, Gabriel melihat Agni sebagai cewek yang kuat. Tapi setelah mengenalnya lebih dalam Gabriel dapat melihat bahwa Agni juga cewek biasa yang rapuh dan memerlukan kasih sayang. Tadinya Gabriel mau bertanya soal kejadian yang dilihatnya, tapi begitu melihat wajah Agni yang murung semua keingintahuannya langsung hilang. Ternyata rasa sayangnya lebih besar dari kecemburuannya. Gabriel melirik jam di dinding.
“Udah hampir malem, aku anterin kamu pulang, ya?” tanya Gabriel lembut. Agni membuka matanya dan mengangguk. Ternyata tubuhnya yang capek nggak bisa diajak kompromi.
“Aku ambil motor dulu, kamu tunggu di lobby aja.” Gabriel menyambar jaket dan kunci motornya lalu pergi. Agni yang memang udah ngantuk mengambil tasnya dan keluar ruangan. Saat sedang berjalan di koridor, seseorang muncul di depannya. Agni tersenyum.
“Sore, tante. Kalo tante nyari kak Gabriel, dia lagi di bawah ngambil motor. Tapi cuma sebentar kok, nganterin Agni pulang terus kesini lagi.” katanya. Tante Nita memandang Agni.
“Apa kamu serius pacaran sama Gabriel bukan karena uang?” tanyanya sinis. Agni agak kaget mendengarnya.
“Uang? Maksud tante?” tanya Agni nggak ngerti.
“Ya, biasalah. Orang miskin yang bisa masuk ke sekolah high-end biasanya nyari cowok yang kaya biar bisa jadi atm berjalan. Kalo udah bosen, ditinggal.” katanya dengan nada menyindir. Tante Nita mengeluarkan amplop coklat dari tasnya dan menaruhnya di tangan Agni.
“Apa ini?” tanya Agni.
“Kenapa nggak kamu buka sendiri?” katanya. Agni membuka amplop itu dan terbelakak melihat isinya.
“I.. ini..”
“Kenapa? Nggak cukup? Kamu mau tambah berapa, bilang aja.” tante Nita mengeluarkan dompetnya.
“Nggak, tunggu.. maksud ini semua apa?” tanya Agni.
“Saya bisa kasih lebih dari yang ada di amplop itu buat kamu tapi dengan satu syarat.” katanya. Tante Nita membisikkan sesuatu di telinga Agni. Agni terdiam sejenak, lalu tersenyum.

***

“Kamu langsung tidur, ya. Muka kamu pucet banget.” kata Gabriel di depan pintu rumah Agni. Agni mengangguk.
“Aku pulang dulu, kita ketemu besok di sekolah.” katanya sambil berbalik.
“Kak..” langkah Gabriel terhenti oleh Agni yang memegang tangannya. Gabriel menatap Agni.
“Maaf..” kata Agni lirih. Gabriel mengerutkan kening.
“Maaf? Buat apa?” tanyanya. Agni tidak menjawab pertanyaannya. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Ag, kamu kenapa? Jangan nangis..” Gabriel memegang pipi Agni.
“Agni sayang kak Gabriel..” lirihnya. Air matanya tumpah. Gabriel mendekapnya.
“Sshh.. iya aku juga. Kamu jangan nangis, dong.” Gabriel mengelus-elus punggungnya. Agni melepaskan pelukannya.
“Udah malem, kakak pulang aja sekarang.”
“Tapi, Ag..”
“Agni ngak apa-apa. Kakak istirahat aja.” katanya sambil mendorong Gabriel.
“Kamu yakin?” tanya Gabriel. Agni mengangguk.
“Kalo gitu, kakak pulang dulu.” Gabriel melangkah ragu-ragu sebelum akhirnya benar-benar pergi. Agni bergegas masuk ke kamarnya. Diabaikannya kata-kata kak Riko dan langsung mengunci diri di kamar. Dia melihat lampu kamar Cakka masih menyala. Tangisnya pun kembali tumpah.

Cakka modar-mandir di kamarnya. Rasa gelisah, penasaran, dan rasa bersalahnya campur aduk jadi satu. Cakka menyesali apa yang diperbuatnya tadi siang.
“Dasar Cakka bego! Otak loe tuh dimana, sih?! Ngapain juga loe ngelakuin semua itu?! Gara-gara loe, Agni jadi ngejauh, tau!” makinya pada diri sendiri. Sejak kejadian tadi siang, Agni menjauh dari Cakka. Telfonnya nggak diangkat, sms nggak dibales, pulang sama Gabriel (padahal sebelumnya walaupun udah jadian Agni tetep berangkat-pulang bareng Cakka). Dan kegelisahannya bertambah ketika mendengar Agni sedang menangis di kamarnya tapi dia nggak tau kenapa dan nggak bisa berbuat apa-apa! Cakka menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal sama sekali. Duuhh.. gue mesti gimana???!!!!

***

Cakka mengetuk pintu rumah Agni dengan was-was. Dia mau bilang apa nanti?? ‘Hai, gue minta maaf soal kemaren..’ aahh!! Nggak! ‘Ag, masalah kemaren itu..’ bukan! bukan! ‘Pagi, gimana kabar loe? Soal kemaren itu nggak usah dipikirin ya, gue..’ jangan kayak gitu! Arrgghh..... gimana nih?? Cakka kelabakan. Pintu rumah terbuka.
“Loh? Loe belum jalan, Cak?” tanya Riko.
“Belom, Agni mana? Biasanya heboh.” tanya Cakka. Riko mengernyitkan dahi.
“Agni udah berangkat dari tadi.” kata Riko.
“Udah.. berangkat? Kapan? Kok nggak bilang-bilang gue?” tanya Cakka heran.
“Dia berangkat buru-buru dari jam 6 pagi tadi. Gue kira dia sama loe.” gantian Riko yang bingung.
“Oh..” Cakka mulai gelisah. ‘Jangan-jangan dia ngehindar dari gue.’ batin Cakka. Riko melihatnya.
“Loe ada masalah sama dia?” tanyanya.
“Hah? Masalah? Nggak, nggak kok.” kata Cakka gugup.
“Gue kenal sama loe udah 7 tahun, jangan kira loe bisa ngeboongin gue.” kata Riko. Cakka menelan ludah. “Kemaren dia nggak pulang sama loe, begitu pulang sikap dia aneh, waktu gue ikutin ke kamarnya dia lagi nangis. Dan yang paling bikin gue heran, tadi malem tidur gue nyenyak. Padahal biasanya gue nggak bisa tidur gara-gara loe berdua suka begadang di atas kamar gue!” tegas Riko. Cakka cuma bisa diam.
“Ada masalah apa, Cak?” tanya Riko lagi.
“Eh, gue harus berangkat sekarang.” Cakka berbalik.
“Cakka!” panggil Riko. Cakka menoleh. “Kalo sampe Agni kenapa-napa, loe orang pertama yang gue cari!” ancam Riko. Cakka merinding mendengarnya.


Gabriel membereskan tumpukan kertas yang ada di mejanya. Dia berangkat lebih pagi karena masih banyak urusan yang belum selesai. Sebagai ketua OSIS, tanggung jawabnya sangatlah besar, semua guru mengandalkannya. Gabriel merentangkan tangannya. Duduk lama bikin badan pegel-pegel. Dia mengambil beberapa map untuk dibawa ke ruang BP dan kepala sekolah. Gabriel membuka pintu dan terheran melihat seseorang yang berdiri di samping pintu.
“Agni? Kamu udah lama disini?” tanya Gabriel.
“Lumayan..” jawabnya singkat.
“Kenapa nggak masuk? Kamu tau aku di dalem kan?”
“Nggak, Agni nggak lama, kok.” katanya sambil menatap Gabriel. Gabriel merasa ada yang tidak beres.
“Ag, ada apa?” tanyanya.
“Agni minta putus..” katanya singkat dan tanpa ekspresi. Gabriel tercekat, napasnya sesak, jantungnya berdegup kencang.
“Ke.. kenapa kamu.. Ag, kamu nggak bisa ngambil keputusan gitu aja! Ini gila!” Gabriel setengah berteriak.
“Agni bisa, dan sekarang Agni mau putus..”
“Tapi kenapa?! Apa alasannya? Apa salah aku?!” tanya Gabriel tidak mengerti.
“Agni nggak perlu jelasin semua, kakak nggak perlu tau.” ucapnya singkat dan berbalik pergi. Gabriel menahannya.
“Ag, tolong jangan lakuin ini.. kamu tau kalo aku sayang banget sama kamu! Bilang apa salah aku, aku nggak akan lakuin lagi! Kasih aku kesempatan, Ag!” Gabriel berlutut dan memohon. Agni menepis tangannya dan pergi. Gabriel mematung. Map yang dipegangnya berjatuhan. Butir-butir air mulai jatuh, Gabriel merasa dunianya runtuh! Pikirannya kalut. Hatinya hancur berkeping-keping, sakitnya melebihi apapun yang pernah dirasakannya. Badannya kaku, lidahnya kelu. Kenapa ini harus terjadi lagi??

Agni meringkuk di pojok ruangan, bahunya bergetar. Rahmi berdiri di sampingnya, berbicara dengan seseorang dari hp Agni. Tidak lama kemuadian Rahmi menutup telponnya dan duduk di samping Agni.
“Loe yakin ini cara terbaik?” tanyanya.
“Gue.. gue juga nggak tau.. gue juga nggak mau lakuin ini..” katanya sambil terisak. Rahmi mengelus punggung Agni, mencoba menenangkannya. Agni masih terisak, dia nggak akan lakuin ini kalau wanita itu tidak mengancamnya.
Tante Nita mengatakan akan memberikan berapapun uang yang Agni inginkan asalkan dia menjauhi Gabriel atas dasar perbedaan status ekonomi. Agni menolaknya karena dia pikir ini semua nggak ada hubungannya dengan uang. Dan Agni nggak serendah itu sampai mau mengorbankan hubungannya demi sejumlah uang. Tapi ternyata tante Nita punya banyak cara untuk meyakinkannya.

“Kalau kamu menolak, saya bisa dengan mudah mengeluarkan kamu dari sekolah ini.” ancamnya. Agni tidak terpancing.
“Agni yakin sekolah nggak akan mengeluarkan siswanya tanpa alasan yang jelas.”
“Tidak kalau yang mengatakannya adalah pendonor utama sekolah itu.” Tante Nita tersenyum. “Atau mungkin kamu mau supaya saya bicara dengan kepala Dinas Pendidikan yang masih kakak saya untuk mencabut gelar ayah kamu sekaligus haknya untuk mengajar. Juga mengeluarkan kakak tertua kamu, Riko dari kampusnya di tengah-tengah ujian dan sidang untuk menjadi calon Insinyur. Keluarga kalian memang pintar, tapi beasiswa gampang dicabut.” katanya. Agni terbelakak.
“Tante nggak bisa kayak gitu, dong! Itu kan..”
“Saya bisa melakukan apapun yang saya mau. Termasuk mengatakan pada sahabatmu tercinta bahwa ibunya, Ida Nuraga sekarang sedang dalam proses perceraian dengan ayahnya. Pasti dia shock berat.” ucapnya penuh kemenangan.
“Da.. dari mana tante tahu itu semua?”
“Saya punya mata dan telinga dimana-mana. Jadi, mana yang kamu pilih? Gabriel, atau keluarga dan sahabatmu? Pikirkan baik-baik dan ingat, saya tidak main-main.”

“Gue nggak nyangka semua bakal serumit ini jadinya.” kata Rahmi.
“Gue juga nggak pernah ngebayangin bakal jadi kayak gini! Gue nggak tau harus gimana lagi sekarang!” Agni memegangi kepalanya. Rahmi memeluk Agni.
“Sabar, ya. Ini cobaan buat loe, loe harus sabar menghadapi semuanya. Yang pasti loe ngelakuin ini semua buat keluarga loe, juga Cakka. Gabriel pasti ngerti..” Rahmi mencoba menenangkan Agni. Agni menggeleng.
“Gue takut dia nggak ngerti. Coba loe liat ekspresinya tadi, dia pasti nggak akan maafin gue..” kata Agni lirih. Rahmi menghela napas. ‘Ya Tuhan, cobaan apa lagi yang Engkau berikan pada sahabatku ini? Kuatkanlah dia..’

***

Cakka menggiring bola menuju ring. Beberapa orang menghadangnya tapi Cakka berhasil lewat. Dia mulai menembak dan... meleset!
PRIITT..PRIITT... Uncle Joe membunyikan pluit.
“Kamu kenapa, Cakka? Hari ini permainanmu berantakan. Dari awal latihan tembakan kamu nggak ada yang masuk. Turnamen tinggal 4 hari lagi, kalo permainan kamu kayak gini uncle takut nggak bisa masukin kamu ke dalam tim.”
“Ma.. maaf..” ucap Cakka sambil terengah-engah. Uncle Joe menggelengkan kepala.
“Istirahat 5 menit!” teriaknya. “Uncle nggak tau apa masalah kamu, tapi uncle mau kamu fokus pada turnamen ini. Kamu kapten dan harus bisa membawa seluruh tim. Istirahatlah dulu.” katanya dan pergi meninggalkan Cakka. Cakka terduduk di pinggir lapangan. Keringat bercucuran di dahinya. Seharian ini Cakka merasa sangat kacau, dia nggak bisa konsentrasi belajar, nggak nafsu makan dan sekarang permainannya berantakan! Cakka menepuk kepalanya sendiri.
“Mau nepuk sampe kepala loe pecah juga percuma.” kata seseorang yang baru duduk di sebelahnya. Dia memberikan Cakka minuman dingin. Cakka mengambil dan meminumnya.
“Loe masih mikirin Agni?” tanyanya. Cakka termenung.
“Dia ngejauhin gue, Vin.”
“Gara-gara waktu itu?” tanya Alvin. Cakka mengangguk.
“Gue cuma takut dia nggak mau maafin gue lagi. Gue emang nyebelin dan sering bikin dia jengkel tapi kali ini gue udah keterlaluan. Gue jadi heran sendiri kenapa gue bisa sebego itu!” kata Cakka. Alvin menepuk pundaknya.
“Loe harus ngomong sama dia. Kalo loe jelasin semuanya, dia pasti maafin loe. Agni bukan orang pendendam, kok. Nepuk lalat aja dia nggak berani. Apalagi loe sahabatnya dari kecil.” kata Alvin.
“Loe yakin?”
“Kenapa nggak loe coba dulu?”

Hujan turun cukup deras sore ini. Cakka berlari menuju parkiran motor, dia membawa sebuah bola basket. Bajunya basah. Cakka menggerutu dalam hati, ‘Sial! Kenapa sore ini harus hujan, sih?! Mana gue nggak bawa jas hujan lagi.’ Cakka memandangi hujan yang terus turun.
‘Tapi kalo gue nggak pulang ntar keburu malem. Hari ini kan mama pulang dari Swiss, kasian kalo nunggu sendiri di rumah.’ batinnya. Akhirnya tanpa peduli hujan yang turun Cakka menaiki motornya dan pergi meninggalkan sekolah. Dalam hujan Cakka melihat sosok yang sangat familiar sedang berjalan di trotoar. Cakka menghampirinya.
“Ag, kenapa loe sendirian? Ayo naik.” ajak Cakka. Agni yang baru menyadari kedatangan Cakka terus berjalan.
“Nggak usah, makasih.” katanya datar.
“Nggak usah gimana? Loe basah kuyup gitu. Mendingan bareng gue aja, nanti loe sakit.” kata Cakka. Agni tidak menghiraukannya dan terus berjalan. Cakka turun dari motornya dan mencengkram lengan Agni.
“Aduh! Apaan sih, loe?!”
“Kenapa loe hindarin gue?” kata Cakka.
“Maksud loe apa, sih?!”
“Loe tau maksud gue, kenapa loe hindarin gue sejak kejadian itu?! Kenapa?! Loe nggak suka, loe marah atau mungkin benci sama gue? Bilang sama gue Ag, kenapa?!” suara teriakan Cakka bercampur dengan suara hujan. Agni menarik napas.
“Kenapa loe lakuin itu?” tanyanya. Cakka menggeleng.
“Gue..”
“Loe nggak seharusnya kayak gitu Cak, gue temen loe! Sahabat loe dari kecil! Dan loe tau kalo gue punya cowok, kan?! Hal itu nggak seharusnya ada, kita berdua sahabat!” kata Agni. Cakka meremas tangannya.
“Terus kenapa? Apa kalo sahabat gue nggak boleh suka sama loe, gitu?! Bukan gue yang minta suka sama loe, tapi ini muncul sendiri! Dan gue capek harus nutupin perasaan gue, gue mau loe tau kalo gue ada! Gue mau loe tau kalo selama ini ada orang yang selalu sayang sama loe apa adanya dan itu gue! Gue sayang sama loe, Ag..” Cakka menatap mata Agni lekat-lekat. Agni meringis.
“Kenapa.. kenapa baru sekarang..”
“Gue minta maaf kalo udah rahasiain ini dari loe, tapi gue takut kalo gue bilang loe bakal ngejauh dari gue. Gue cuma takut kehilangan loe..” Cakka memegang wajah Agni yang basah. Agni menunduk. Dia tidak bisa, benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan yang satu ini. Cakka adalah sahabat terbaiknya, yang selalu bisa mengerti dia, tapi untuk jadi lebih dari itu..
Agni melepas tangan Cakka dari wajahnya.
“Maaf..” katanya lirih. Jantung Cakka berdegup kencang. Agni berbalik dan pergi. Cakka menatap kepergian Agni dengan pandangan nanar. Tangannya mengepal. Cakka kembali ke motornya dengan lesu. Digenggamnya bola basket di depannya. Ternyata begini rasanya patah hati. Cakka tertawa kecil dan melempar bolanya jauh-jauh.
“Siaalllll!!!!” bolanya terpental jauh ke tengah jalan. Cakka memegangi kepalanya. Dia tidak peduli lagi pada hujan yang membasahinya sekarang, yang dia mau cuma pulang ke rumah. Cakka mencari bola yang tadi dilemparnya. Dalam hujan seperti ini sulit sekali melihat ke depan. Setelah beberapa lama mencari Cakka melihat benda berwarna oranye. Cakka memungutnya. Namun tiba-tiba cahaya yang terang menyilaukan matanya. Cakka tidak bisa melihat apa-apa selain mendengar teriakan seseorang yang memanggil namanya.
“Cakkaaaaa...!!!!!” lalu semuanya menjadi gelap.

Gabriel membanting semua barang di kamarnya. Kamarnya sekarang lebih mirip kapal pecah. Barang berserakan dimana-mana. Dengan takut-takut Tania masuk ke kamar kakaknya.
“Kak, makan dulu.” katanya pelan.
“Kakak nggak laper.”
“Tapi kan..”
“Dibilangin kakak nggak laper! Kamu denger nggak, sih?!” tanpa sadar Gabriel membentak Tania. Tania menciut.
“Kan.. nggak usah.. ngebentak.. gitu..” Tania mulai terisak. Gabriel mengangkat kepalanya. Rasa menyesal menyelimutinya. Tania nggak tau apa-apa.
“Nia..”
“Kak Iel jahaatt!!!” Tania berlari ke luar kamar. Gabriel menghela napas. ‘Bagus, sekarang Tania menjauhinya juga!’ makinya dalam hati. Kejadian tadi pagi tidak bias hilang dari benaknya. ‘Apa salah gue? Apa salah gue sampe Agni mutusin gue?!!’ Gabriel terus berteriak dalam hati. Dia sama sekali nggak bisa terima semua ini! Ini nggak masuk akal! Gabriel mengambil hp-nya dan menelepon Agni. Tapi yang didengarnya suara lain. ‘Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.’. Gabriel mengulanginya berkali-kali tapi tetap tidak ada jawaban.
“Damn!!!!!!!!!!” Gabriel membanting hp-nya dengan penuh amarah (sayang banget padahal hp-nya BB*). DIa terduduk di kasur, memegangi kepalanya. Rasa kecewa, marah, sedih, bingung, sakit, pedih seakan jadi satu. Dia harus menemukan cara untuk bertemu dengan Agni, harus! Gabriel mengambil kunci motornya dan bergegas keluar kamar tanpa mendengar suara dering hp di lantai kamarnya.

Gabriel menghentikan motornya di depan sebuah rumah mungil yang tampak sepi. Dari luar rumah itu terlihat kosong. Gabriel terheran, biasanya pintu rumah selalu terbuka karena ibunya ada di rumah. Gabriel turun dan mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Gabriel mengetuk pintu lebih keras, tetap tidak ada jawaban. Gabriel mengetuk lagi lebih lama, tapi tetap tidak ada jawaban. ‘Jelas mereka pergi.’ batinnya. Saat berbalik untuk pulang Gabriel melirik ke arah rumah Cakka yang juga tampak sepi. Gambaran kejadian yang dilihatnya di taman belakang sekolah waktu Cakka mencium Agni kembali muncul. Hatinya panas seketika. Tangannya mengepal.
“Pasti Cakka!!”

***

Cakka mencium sesuata yang aneh di hidungnya, aroma ini..bukan kamarnya. Baunya seperti alkohol, dan bau obat-obatan lain yang tercium samar. Kepalanya terasa perih, sakit sekali. Cakka membuka mata pelan, cahaya terang menusuk matanya. Cahaya yang mengingatkannya pada suatu hal. Tapi apa?
“Cakka?” sebuah suara memanggilnya. Suara lembut yang sangat dirindukannya. Cakka berusaha mencari sumber suara itu dan tersenyum.
“Mama…” lirihnya.
“Cakka, sayang.. kamu sadar, nak..” mama mengelus rambut Cakka pelan. Matanya terlihat basah.
“Ma.. mama nangis?” tanya Cakka pelan. Mama menggeleng.
“Ma.. Cakka.. kenapa..?” tanyanya lagi.
“Kamu nggak inget? Hari itu hujan deras, kamu lagi ambil bola di tengah jalan lalu ada mobil yang nabrak kamu. Orang itu lagsung bawa kamu kesini.” kata mama. Cakka memejamkan mata, membawanya kembali ke kejadian waktu itu. Waktu hujan, waktu cahaya itu datang, waktu dia tertunduk lemas, waktu hatinya sakit, dan juga…
“Agni..” kata itu meluncur begitu saja dari bibr Cakka.
“Kamu harus berterima kasih sama Agni, kalo dia nggak ada mama nggak bias ngebayangin ada dimana kamu sekarang.” kata mama. Cakka menatap mamanya dengan pandangan bertanya.
“Maksud mama? Emang Agni ngapain?” tanyanya.
“Loh? Emang kamu nggak tau juga?” mama agak terkejut. Cakka menggeleng. “Kata supir mobilnya, waktu kamu hampir ketabrak, tiba-tiba Agni muncul dan ngelindungin kamu. Makanya cuma kaki kamu yang luka.” jelas mama. Cakka tersentak. ‘Agni? Agni melindungiku?’ batinnya. Tiba-tiba jantungnya berdetak kencang.
“Terus? Sekarang Agni gimana?!” tanyanya panik. Mama menenangkannya.
“Agni ada di ruangannya, belum sadar. Tadi kondisinya sempet drop tapi sekarang udah stabil lagi. Kamu nggak usah khawatir.”
“Cakka mau ketemu Agni, ma. Cakka mau liat Agni!” Cakka bangun dari tidurnya. Waktu hendak turun, ia merasakan sakit yang luar biasa di kakinya.
“Aduuuhh….” Cakka mengerang.
“Kamu jangan banyak gerak dulu, luka kamu belum sembuh.” Mama kembali membaringkan Cakka. Cakka membuka selimut yang menutupi kakinya. Betapa kagetnya ia begitu melihat kedua kakinya kaku terbalut perban.
“Ma.. ini…” Cakka tidak sanggup berkata-kata. Mama menunduk.
“Luka kamu cukup parah, jadi untuk sementara kaki kamu harus di gips dulu. Kamu juga harus pakai kursi roda atau kruk untuk jalan sampai kakimu sembuh.” jelas mama. Wajah Cakka berubah pucat pasi.
“Tapi ma, 3 hari lagi ada turnamen basket! Cakka harus ikut ma, Cakka harus main! Cakka nggak bisa ninggalin temen-temen Cakka gitu aja!” teriak Cakka histeris.
“Maaf sayang, tapi kamu nggak bisa ikut turnamen. Buat berdiri aja kamu nggak bisa apalagi main basket.” Mama mengelus kepala Cakka lembut. Cakka hanya bisa terdiam, syok mengetahui apa yang terjadi. ‘Kenapa ini semua harus terjadi? Kenapa ini semua harus terjadi SAMA GUE?!! Pertama gue udah jauh dari Agni dan sekarang gue harus jauh dari basket juga?! Tuhan, kalau ini cuma mimpi tolong bangunkan aku sekarang! Kembalikan aku ke masa dulu dimana semua terasa mudah untuk dijalani..’

Cakka naik ke kursi rodanya dengan semangat. Rambutnya sudah dipotong agar kelihatan lebih rapi. Cakka memakai parfum agar lebih segar-karena sebenanrnya Cakka belum mandi- dia juga memakai baju yang sudah disetrika rapi walaupun hanya baju pasien biasa. Tadi Riko member kabar bahwa Agni sudah sadar. Cakka yang lagi makan langsung kelabakan kesana kemari (padahal kakinya belum sembuh) mencari apapun yang bisa mendorong penampilannya sebelum bertemu Agni. Cakka bertekad, hari ini ia akan minta maaf pada Agni atas semua yang telah dilakukannya. Dia juga akan berterima kasih yang sebanyak-banyaknya karena Agni sudah menolongnya. Semoga dengan kejadian kali ini hubungan mereka bisa menjadi lebih baik.
Mama membuka pintu kamar tempat Agni dirawat dan membawa Cakka masuk. Ada orangtua Agni, Arsyad-Irsyad, juga Riko pastinya. Dan Agni ada disana! Terbaring di kasurnya yang sedang diperiksa oleh dokter. Tapi ada yang aneh dari mereka semua. Mereka tidak terlihat bahagia, mungkin lebih terlihat khawatir dan gelisah. Cakka menatap Riko meminta penjelasan tapi Riko hanya menunduk dan membuat Cakka semakin heran. Cakka mendekati Agni setelah dilihatnya dokter selesai melakukan pemeriksaan. Agni menatap Cakka.
“Hei.. gimana kondisi loe?” tanya Cakka.
“Baik, tapi kepala gue masih agak sakit.” jawabnya. Cakka tersenyum.
“Gue kesini mau minta maaf sama loe soal kejadian waktu itu di belakang sekolah. Gue nggak mikirin akibatnya dan gue baru ngerasa nyesel waktu loe ngejauhin gue. Juga makasih karena udah nolongin gue.” kata Cakka. Agni terdiam.
“Minta maaf? Belakang sekolah? Ngejauhin loe? Nolongin loe? Kapan?” Agni balas bertanya pada Cakka. Cakka terheran.
“Masa loe lupa, sih? Kan loe yang nolongin gue dari kecelakaan kemarin.” tanya Cakka lagi. Agni berpikir sebentar lalu menggeleng.
“Sori, tapi.. loe siapa?” tanya Agni dengan polosnya. Cakka tersentak. Pandangannya beralih pada Riko yang hanya diam di sudut ruangan. Lalu pada Arsyad-Irsyad, juga pada orangtua Agni dan mamanya sendiri.
“Ag, loe bener-bener.. nggak inget gue?” tanya Cakka nggak percaya. Agni menggeleng. Cakka menahan napas. Kekecewaan kembali muncul di hatinya.

“Dia terkena amnesia. Penyebabnya bermacam-macam, salah satunya cedera kepala yang biasa terjadi pada kecelakaan mobil seperti kalian yang bisa memicu kebingungan dan gangguan mengingat informasi baru, khususnya di awal-awal masa pemulihan.” jelas dokter pada Cakka yang menunggu di luar ruangan.
“Apa ini akan berlangsung lama?” tanyanya.
“Umumnya amnesia seperti ini ringan dan tidak akan berlangsung lama, namun saya sarankan untuk tidak memaksanya melakukan aktifitas otak yang berlebihan. Contohnya jangan ingatkan dia pada masalah-masalah yang sedang dia hadapi, karena saat ini akan lebih baik jika otaknya dibiarkan berfikir secara normal sehingga mempercepat pemulihannya. Masalah hanya akan memperlambat prosesnya, dan kalau otaknya tidak dapat mengontrol semua sekaligus maka ini dapat menjadi amnesia permanen.” lanjutnya. Cakka mengangguk mengerti. Jadi sekarang Agni tidak ingat padanya? Entah itu berita bagus atau buruk. Bagus karena Agni tidak mengingat apapun tentang masalahku dengannya dan buruk karena Cakka tahu ini hanya akan menjadi awal dari masalah baru yang akan dihadapinya.

2 komentar:

  1. udah tamat belum nih ? ada cerbung yg lainnya yg udah tamat ? kutunggu ya ^^

    BalasHapus
  2. hehe .. belom selesai loh, iya ini baru mau aku tambahin lagi yang lain . mkasih ya udah baca^^

    BalasHapus