Jumat, 02 Juli 2010

cerbung IC : satu hati_part10

Agni merebahkan tubuhnya di matras di belakang panggung. Keringat bercucuran di dahinya. Murid-murid yang lain mondar-mandir membereskan panggung. Hari ini hari terakhir latihan karena acaranya besok. Mereka baru saja selesai melakukan gladi. Angel sudah membuatkannya kostum tapi dia nggak boleh liat sebelum hari H. Nanti ketimpa sial, katanya. ‘Udah kayak gaun pengantin aja..’ batin Agni. Agni tiduran sambil memandang langit-langit. Badannya terasa lemas.
“Halo, sleeping beauty’..” tiba-tiba wajah Gabriel yang tampan langsung menggantikan langit-langit yang dari tadi dipandangi Agni. Agni kaget dan berusaha bangun.
“Kak..”
“Jangan bangun. Kamu pasti capek, istirahat lagi aja.” Gabriel mendorong bahu Agni agar tetap terbaring seperti tadi. Gabriel merebahkan diri di samping Agni. Mereka lalu terdiam.
“Kok kakak bisa tau Agni di sini?” tanya Agni membuka pembicaraan.
“Angel yang kasih tau, katanya kamu paling lagi tiduran di matras belakang panggung. Eh, ternyata bener.” Gabriel tertawa kecil. “Gimana latihannya?”
“Kayak biasa, cape. Keringet Agni aja sampe keluar semua.” kata Agni. Gabriel menatap wajah Agni dan mengelap keringatnya.
“Biar keringetan kamu tetep cantik.” kata Gabriel. Agni tersenyum manis. Lalu Agni menyadari ada sesuatu yang lain di wajah Gabriel.
“Kakak kenapa? Kok luka gini?” Agni bangun dan menyentuh ujung bibir Gabriel yang terlihat berdarah. Luka gara-gara dia berantem sama Rio waktu itu. Walaupun janji Rio yang bilang nggak akan ganggu hubungan mereka udah bikin hati Gabriel tenang, tapi tetep aja lukanya sakit.
“Oh, iya.. ini.. ke.. kepentok meja..” Gabriel berbohong.
“Mana mungkin kepentok meja lebam gini, kakak pasti berantem, ya? Sama siapa? Kenapa berantem?” tanya Agni dengan nada cemas dalam suaranya. Sebagian hati Gabriel senang karena Agni mencemaskannya, tapi sebagian lagi merasa bersalah. ‘Gimana kalo dia sampai tau semuanya? Gue pasti jadi orang yang paling dia benci sedunia.’ batinnya. Gabriel baru akan menjawab ketika seseorang mendahuluinya.
“Dia berantem sama Rio, gara-gara loe.” Gabriel tercekat. Langsung dia menoleh ke arah suara, Sivia!
“Sama kak Rio? Gara-gara gue?” ada perasaan khawatir di hati Agni begitu Sivia menyebut nama ‘Rio’. ‘Kenapa? Apa Rio nyakitin kak Gabriel gara-gara gue?’ batinnya.
“Iya, loe belum tau? Rio marah sama Gabriel karna loe udah jadian sama dia, dan ngancem akan ngebongkar rahasianya ke loe. Ujung-ujungnya berantem deh.” Sivia berkata dengan nada puas. Jantung Gabriel berdetak cepat, mukanya merah, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat. Angel yang melihat ada yang nggak beres, langsung menghampiri Agni.
“Kenapa, Ag?” tanyanya. Agni nggak menghiraukan pertanyaan Angel.
“Rahasia apa kak?” tanyanya ke Gabriel. Gabriel menggenggam tangan Agni erat, tapi tetap bungkam.
“Jadi loe nggak mau ngasih tau? It’s ok, biar gue yang ngasih tau dia.” Sivia memperlihatkan video yang diambil Shilla waktu nggak sengaja lewat di samping lapangan basket.

“Apa sih mau loe?! Loe mau pengakuan? Oke, gue akuin. Gue deketin Agni, dan jadian sama dia karna taruhan! Taruhan!”

Mata Agni terbelakak. Badannya langsung terasa lemas, hatinya terasa perih. Seperti ditusuk-tusuk beribu-ribu jarum. Angel menutup mulut dengan tangannya. Agni menatap Gabriel tidak percaya. Dilepaskannya tangan Gabriel.
“Ag, gue bisa jelasin semua..”
PLAKK!!
Satu tamparan telak menghentikan kata-kata Gabriel. Gabriel tersentak, tubuhnya langsung terasa kaku. Ditatapnya Agni, air mata menetes dari matanya.
“Ag, tolong jangan nangis..” Gabriel meraih tangan Agni, tapi langsung ditepisnya.
“Jangan pernah pegang tangan gue lagi..” kata Agni dengan suara bergetar karena menangis. “Jangan pernah deketin gue, jangan pernah panggil nama gue, dan jangan pernah nampakin muka loe di depan gue lagi! Gue nggak mau kenal sama loe!” Agni langsung berlari meninggalkan Gabriel yang hanya bisa mematung.
“Ag, Agniii!!!!”

Cakka menutup gagang telponnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Cakka berjalan menuju ruang tengah dan duduk di sebuah sofa besar. Dipandangnya sosok yang tertidur pulas di sampingnya. Bekas air mata masih tersisa di wajahnya. Cakka kembali teringat kejadian sore tadi. Waktu itu memang Cakka pulang duluan karna ada rapat basket di rumah pelatihnya, dia pulang dari sekolah jam 2 dan sampai di rumah jam 4. Saat Cakka sedang asik-asiknya nonton tv, terdengar bunyi bel dari pintu depan. Betapa kagetnya dia waktu membuka pintu dan mendapati Agni langsung menangis dalam pelukannya. Cakka yang bingung tidak berkata apapun dan langsung membawa Agni ke sofa. Dibiarkannya Agni menangis sepuas mungkin membasahi bajunya, lebih baik dilepaskan dari pada harus ditahan.
Setelah 2 jam, tangisannya berhenti dan langsung tertidur pulas di pangkuan Cakka. Cakka membiarkannya tertidur. Hatinya miris melihat Agni yang sangat ‘berantakan’, tapi Riko pasti khawatir karena sekarang sudah jam 7 dan Agni belum juga pulang. Jadi Cakka memutuskan untuk menelponnya dan mengabarkan kondisi Agni. Untungnya Riko mengerti, dia akan menunggu sampai Agni pulang atau membuka kunci jendela kamarnya kalau Agni mau langsung ke kamar. Orangtuanya sedang pulang kampung ke Jogja karena neneknya sakit dan baru pulang besok, jadi nggak ada yang memarahi. Toh, rumah Cakka di sebelah. Cakka tertawa kecil waktu Riko bilang ‘membuka jendela kamar Agni biar dia bisa lompat sendiri’. Dalam hati Cakka berharap, ‘semoga Agni lewat pintu depan..’


“Loe nggak apa-apa?” tanya Cakka dari balik jendela kamarnya. Agni baru saja pulang setelah menceritakan semuanya dan sesuai harapan Cakka, lewat pintu depan! Cakka nggak bisa ngebayangin kalo dia mau lompat dari kamarnya, gimana ekspresinya kalo tau fotonya ada di seluruh dinding kamar, kecuali yang menghadap kamar Agni. Agni mengangguk lemah. Di tangannya ada segelas coklat hangat yang dibuatkan oleh Cakka. Cakka tahu itu salah satu minuman kesukaan Agni.
“Nggak usah dipikirin, nanti loe sakit.” kata Cakka lembut.
“Gue cuma nggak habis pikir, apa bagi semua orang gue cuma mainan? Cuma boneka yang bisa mereka dandanin terus dibuang gitu aja? Apa nggak ada yang bener-bener tulus sama gue?” kata Agni lirih. Cakka meringis dalam hati, dia melompat masuk ke beranda kamar Agni. Cakka memegang wajah Agni dengan kedua tangnnya dan menatap matanya lurus.
“Loe masih punya gue, jangan lupa itu.” kata Cakka. Agni tersenyum kecil, air matanya kembali jatuh. Cakka membetulkan posisi duduknya dan menaruh kepala Agni di pundaknya.
“Jangan nangis lagi, nanti semua orang bisa ketawa kalo ngeliat Alice mukanya merah kayak badut.” Cakka mencubit hidung Agni. Agni memukulnya pelan.
“Dasar, loe.” katanya. Senyumnya mulai terlihat. Cakka tersenyum memandang Agni sambil mengusap kepalanya.

***

Ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat SMA Idola, karena hari ini adalah ulang tahun SMA mereka yang ke-10! Seluruh murid bersiap memberikan atraksi-atraksi terbaik dari ekskul mereka. OSIS mengadakan bazar dan ada juga food court ala SMA Idola. Agni berlari-lari sambil menggandeng tangan Cakka.
“Ayo, buruan! Gue mau beli itu gembul!” kata Agni riang. Cakka kewalahan di belakangnya.
“Loe mau apa lagi, sih? Loe kan udah beli gulali, es serut, es krim, es doger, es pocong, es duren, permen gulung, popcorn, bolu gulung, kue sus, kue lapis, pie buah, pie apel, omelet, roti bakar, roti panggang, pisang coklat, pisang keju, balon kupu-kupu, balon hati, balon spongebob juga udah!”
“Gue kan belom pernah makan masakan Jepang, mumpung disini ada gue mau beli dorayaki, kue dango, kue manju, okonomiyaki, terus...”
“Udaaahhh....!! Kalo yang begituan ntar gue titipin bokap! Sekarang gue mau duduk, dehidrasi nih!”
“Yaahhh...nggak seru, nih.”
“Lagian loe makan banyak banget, sih. Kalo sekarang loe makan begini banyak bisa-bisa nanti malem kostum loe udah nggak muat!”
“Eits.. jangan salah. Nona yang satu ini nggak gampang gemuk, jangan bandingin gue sama loe yang gembul gini, dong!” Agni menepuk-nepuk perut Cakka.
“Jangan salah, gembul gini ada isinya..”
“Apaan?”
“Balon udara! Udah mendingan loe beliin gue minum sana!” Cakka mendorong Agni.
“Iya.. iya..” Agni melangkah pergi sambil tetap membawa balonnya. ‘Gila! Tuh anak energinya banyak banget. Untung cuma setahun sekali, kalo tiap hari bisa kelenger gue!’ batin Cakka. Tapi Cakka bersyukur, Agni sudah kembali seperti semula. Setelah puas menangis perasaannya jauh lebih baik. Apalagi hari ini dia akan tampil, jadi harus terlihat sesegar mungkin. Walaupun bungsu, tapi Agni bukan anak yang manja. Dia bisa mengatasi masalahnya sendiri tanpa melibatkan orang lain yang nggak ada kaitannya. Riko tahu hal itu, makanya dia selalu membiarkan Agni sendiri kalau sedang ada masalah. Walaupun kelihatannya cuek, tapi Riko sangat menyayangi Agni, begitu pula Arsyad-Irsyad. Bagi mereka, Agni adalah anak emas yang harus dijaga. ‘Ngomong-ngomong, tadi dia bawa balon, kan? Apa nggak ribet bawanya, tuh anak kan ceroboh banget.’ batin Cakka.

“Es jeruk 1, es lemon 1.” Dea memberikan pesanan Agni.
“Makasih ya.” Agni mengambil pesanannya.
“Malem ini loe tampil, kan? Gue nggak sabar mau ngeliat loe, penampilan loe waktu hari ibu keren banget, sih.” ucap Dea. Agni tersipu malu. Dea adalah anak kelas 10-C. Dea kagum banget sama Agni, akhirnya mereka kenalan dan sampai sekarang berteman baik.
“Hehe.. thanks ya. Gue janji malam ini akan ngasih pertunjukkan terbaik yang pernah loe liat.”
“Siip deh.. loe bisa bawa minumannya? Tangan loe penuh, apa perlu gue bantuin?” Dea memandangi Agni yang tangan kirinya membawa 3 balon, d’crepes, dan es jeruk sedangkan tangan kanan membawa es melon dan d’crepes juga. Agni nyengir.
“Hehe.. nggak usah, tempat duduk gue deket kok.” kata Agni sambil berbalik. Dea mengangguk. Agni berjalan menjauhi counter, dia melangkah sangat hati-hati karena disini lumayan rame dan kedua tangannya penuh. Hampir saja es lemonnya jatuh kesenggol murid lain. ‘Harusnya tadi gue ajak si gembul kesini sekalian, ribet banget bawanya.’ batin Agni. Karena terlalu kencang memegang gelas, pegangan di balonnya menjadi longgar dan terlepas.
“Eehh.. yaah balon gue terbang dehh..”
“Sini, gue bantuin.” seseorang mengulurkan tangannya. Agni menoleh dan membuang muka.
“Nggak perlu.” jawabnya singkat sambil terus berjalan.
“Loe nggak bisa bawa semua sendirian, biar gue bantu bawain..”
“Gue bilang nggak ya nggak! Maksa banget, sih!”
“Gue tau loe pasti marah banget kan sama gue. Gue bener-bener minta maaf. Itu semua cuma permainan yang biasa gue lakuin sama Dayat. Nggak ada maksud buat nyakitin loe, gue..”
“Tapi nyatanya, gue sakit juga kan? Jadi nggak ada pengaruhnya loe bilang sekarang, besok, minggu depan, atau tahun depan juga gue pasti tetep sakit. Dan itu yang harus loe pikirin! Bukan kepuasan loe doang!”
“Ag, gue bener-bener sayang sama loe, bukan karna taruhan tapi ini tulus dari hati gue..” jelasnya. Agni berbalik pergi tapi Gabriel menarik tangannya dan mencengkram pundak Agni. Gabriel menatap mata Agni lekat-lekat.
“Loe liat sekarang, apa ada kebohongan di mata gue? Apa loe pikir gue lagi sandiwara sekarang? Coba liat baik-baik Ag, gue sayang sama loe!” Gabriel menatapnya. Agni mencoba mencari sesuatu disitu, kebohongan, keraguan, keegoisan? Tapi nihil. Yang ia temukan hanyalah mata bening Gabriel yang hampir basah tapi penuh dengan keyakinan hati. Agni bimbang sejenak, dia melepaskan diri dari cengkraman Gabriel dan menjauh pergi. Gabriel menatapnya dengan kecewa.
“Loe nggak apa-apa?” Dayat menghampirinya. Gabriel menunduk lemas.
“Ini semua salah gue, salah gue! Gue yang brengsek, yang egois, yang cuma mentingin diri gue sendiri! Ini semua salah gue!” Gabriel memaki dirinya sendiri. Dayat meletakkan tangannya di bahu Gabriel.

“Loe kemana aja, sih? Lama amat.” kata Cakka waktu Agni datang menghampirinya. Agni hanya diam. Cakka merasa ada yang tidak beres.
“Loe kenapa?” tanya Cakka. Agni menggeleng pelan dan menunduk.
“Loe mungkin pinter akting tapi loe nggak pinter boong. Kenapa, Ag?” tanya Cakka lagi. Agni mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil.
“Nggak.. nggak apa-apa. Nih minum loe, es jeruk kan? Gue juga beli crepes, siapa tau loe laper.” Agni menyerahkan minum dan makanannya pada Cakka lalu memakan makanannya sendiri. Cakka menerimanya dengan ragu. ‘Pasti ada masalah, masalah yang Agni nggak mau gue tau. Tapi kalo dia nggak mau bilang, biarin deh.’ kata Cakka dalam hati dan mulai memakan makanannya.


“Siv, ngapain sih kita disini?” tanya Shilla.
“Loe tinggal ikut gue aja pake ribut, sih! Udah liat aja.”
“Gue sih mau ngikutin loe kemana aja, tapi ke ruang peralatan gantung? Loe mau bunuh diri? Mana gelap, sumpek lagi!” Shilla mengeluh. Gimana nggak, Sivia ngajak dia ke ruang peralatan gantung di atas, tempat tim kreatif mereka menyimpan berbagai alat yang biasanya dipakai di langit-langit kayak lampu sorot, tali gantungan, dll. Dalam hati Shilla bersumpah nggak akan pernah kesini lagi!
Dalam kegelapan, Sivia menemukan benda yang dicarinya berkilau. Senyumnya mengembang. Diambilnya cutter yang dilihatnya di atas meja.
“Siv, itu kan..”
“Loe tau peraturan gue? Pertama, jangan pernah berani ngerebut cowok yang jadi inceran gue. Kedua, jangan pernah berani bikin gue malu di depan orang, karna gue bakal bikin loe lebih malu di depan orang yang lebih banyak. Anak kampung itu udah ngerasain akibat yang pertama, sekarang giliran dia ngerasain akibat yang kedua.” katanya sambil mengacungkan cutter di tangannya. Shilla tersenyum mengerti.

***

Agni duduk diam di depan meja rias. Wajahnya sudah di make-up, rambutnya sedang ditata sekarang. Orang-orang yang lewat semua memujinya cantik, tapi itu nggak memperbaiki suasana hatinya. Teringat kembali kejadian tadi.
“Ag, gue bener-bener sayang sama loe, bukan karna taruhan tapi ini tulus dari hati gue..”
“Loe liat sekarang, apa ada kebohongan di mata gue? Apa loe pikir gue lagi sandiwara sekarang? Coba liat baik-baik Ag, gue sayang sama loe!”

Agni memejamkan matanya, berharap semua itu akan hilang dengan sendirinya. Tapi sia-sia. Bayangan itu justru makin jelas terlihat. Sesaat hatinya bimbang, apa Gabriel mengatakan yang sejujurnya? Gimana kalo dia bohong, gue bakal sakit lagi. Tapi kalo dia jujur? Agni terus berdebat dengan hatinya. Kepalanya sakit.
“Agni, loe kenapa?” tanya Zahra. Sekarang yang sedang menata rambutnya adalah Zahra, kakak kelasnya dari kelas 11-Z yang pintar banget menata rambut. Agni melihat wajah Zahra yang terlihat cemas dari cermin.
“Loe sakit? Nggak enak badan?”
“Agni nggak apa-apa, kak.” katanya dengan senyum yang dipaksakan.
“Masa? Muka loe pucet gitu, kok. Padahal udah pake make-up. Mau minum obat biar lebih enak?” tanyanya lagi. Agni tersenyum, Zahra memang perhatian tapi juga panikan.
“Agni nggak apa-apa, kak. Nggak usah khawatir.” Agni menenangkan.
“Bener? Jangan maksain kalo nggak kuat, ya. Latihannya emang berat, sih. Tapi Alice harus keliatan ceria, nggak boleh murung biar bisa membawa penonton.” Zahra menasehati. Agni cuma tersenyum simpul.
“Nah, rambut udah siap, sekarang tinggal bajunya. Gue panggil Angel dulu, loe jangan kemana-mana dan jangan macem-macem! Nanti rambut loe rusak lagi.” kata Zahra mewanti-wanti. Agni mengacungkan jarinya membentuk ‘V’. Zahra tersenyum dan pergi meninggalkan Agni sendiri. Agni menatap bayangan dirinya di cermin. Bagus juga tangan Zahra. Rambut Agni yang cuma sebahu digerai dengan model berantakan, jadi terlihat lebih tebal dan berisi sekaligus menampilkan kesan ceria. Poninya juga ditata rapi, penuh menutupi dahi. Agni tersenyum puas dan mengambil botol minum di bawah meja riasnya. Lama duduk bikin haus juga.
Agni yang sedang minum air hampir memuncratkan semuanya ketika tiba-tiba melihat bayangan sosok berbaju putih sedang berdiri diam di depan pintu sambil memandangnya dari cermin. Agni mengelap mulutnya dan berbalik. Sosok itu mendekat.
“Jangan ngagetin, dong! Kan bisa ketok pintu dulu.” protes Agni.
“Gue mau ngomong sesuatu...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar