Hari Minggu tiba, hari dimana mereka merayakan Hari Ibu. SMA Idola penuh sesak dengan para murid yang berjalan didampingi ibunya masing-masing. Cakka berjalan menggandeng mama Agni (karena mamanya Cakka nggak bisa dateng jadi dia berangkat bareng mamanya Agni). Mereka masuk ke sebuah hall besar yang sudah dihiasi oleh dekorasi yang indah. Mereka duduk di kursi di barisan tengah.
“Cakka ambil minuman dulu ya, tante.” Katanya pada mama Agni.
“Jangan lama-lama, ya. Sebentar lagi mulai.”
“Gila! Banyak banget yang dateng!” Agni mengintip dari balik tirai.
“Muridnya kan banyak, jadi yang dateng juga pasti banyak.” kata Ify santai. Ify nanti akan mengiringi para Choir dengan piano menyanyikan lagu pembuka acara ini.
“Tapi gue kan belum pernah tampil di depan orang sebanyak ini! Nanti kalo ada yang salah gimana? Bisa malu-maluin gue!” kata Agni panik.
“Loe pasti bisa, kok. Waktu latihan aja loe hebat banget.” Rahmi mencoba menenangkan. Rahmi nanti akan membacakan puisi di akhir acara.
“Iya, tapi kan waktu latihan hall-nya kosong.”
“Wah, upik abu berubah jadi Cinderella!” kata seseorang yang tiba-tiba muncul.
“Thanks, tapi itu nggak bikin grogi gue ilang.” kata Agni. Cakka tertawa dan memegang pundak Agni.
“Relax, tarik nafas. Tenangin dulu diri loe. Loe nggak akan malu-maluin, gue jamin. Semua penonton pasti terpukau kalo ngeliat loe kayak gini.” Cakka memandangi Agni yang baru pertama kali ini memakai dress warna merah yang manis (bayangin baju yang dipake Agni waktu di GF icil 2), dengan rambut sepundaknya yang dikepang sebagian dan sisanya dibuat sedikit ikal.
“Loe keliatan caaanntiiikkk...... banget! Gue nggak akan nyesel ngeliat loe hari ini.” puji Cakka. Agni tersenyum, mukanya memerah. Cakka menepuk-nepuk pipinya.
“Good luck, loe pasti bisa.” katanya sambil kembali ke bangku penonton. Acara pun dimulai. Dibuka oleh kak Gabriel sebagai MC, sambutan-sambutan, lalu lagu pembuka oleh para Choir. Setelah itu gilirannya tampil. Jantungnya masih dagdigdug.
“Hei, jangan tegang gitu, dong.” Gabriel menepuk pundaknya.
“Habis, ini kan pertama kalinya Agni tampil di depan orang sebanyak ini. Gimana nggak tegang.” kata Agni. Gabriel tersenyum dan melepas kalungnya, lalu memakaikannya pada Agni.
“Kak, ini..” Agni memegang kalung dengan liontin huruf ‘G’ di lehernya.
“Itu jimat keberuntungan. Ayah yang memberikannya sebelum meninggal. Ini yang selalu jadi penyemangat buat kakak. Setiap tampil di depan orang banyak, kakak selalu pakai ini dan ngebayangin ada ayah disitu. Itu ngebuat kakak nggak grogi lagi. Mungkin kalo kamu pakai ini, kamu jadi nggak grogi karna kamu bisa ngerasain kalo kakak ada di samping kamu.” katanya. Agni tersenyum.
“Makasih, kak.” senyumnya. Gabriel tersentak. Ada sesuatu yang hangat di hatinya. Tanpa sadar ia terus memandangi Agni.
“Kak? Kakak kenapa?” Agni melambaikan tangan di depan wajah Gabriel. Gabriel tersadar.
“Hah? Nggak, nggak apa-apa.” katanya. “Giliranmu, tuh.”
“Iya.” Agni membawa gitarnya melangkah masuk menuju panggung dengan langkah yang lebih mantap. Ia duduk di kursi yang sudah disediakan. Petikan gitarnya yang lembut mulai terdengar. Agni mulai bernyanyi.
Bunda cinta jangan menangis
Doamu menyinariku
Lihat perjuangan diriku
Cerminan dari cintamu yang indah
Kau sabar menyayangiku
Kau peluk kemarahanku
Bunda sayang jadi senyumlah
Demi bunda cintaku
Kukejar impianku
Atas nama cintamu
Ku akan meraih semua impian aku
Untuk bahagiakanmu
Atas nama cintamu
Ku akan menjadi yang terbaik untukmu
Ku cinta kamu bunda
Bunda sayang jangan menangis
Doamu menyinariku
Aku takkan pernah menyerah o..o..
Demi bunda cintaku kukejar impianku
Agni bernyanyi dengan sangat sempurna. Hall terdengar hening, hanya suara Agni dan gitarnya yang terdengar. Semua penonton ikut terhanyut dalam suara dan penghayatannya yang luar biasa. Bahkan beberapa dari mereka ikut menangis, termasuk mamanya Agni. Matanya yang bersinar saat bernyanyi menjadi daya tarik tersendiri. Akhirnya lagu pun selesai. Agni berdiri dan memberi hormat. Sampai ia keluar panggung penonton masih terdiam. Lalu riuh tepuk tangan penonton terdengar memenuhi ruangan. Agni terharu, dia tidak melakukan kesalahan. Semua suka dengan lagu yang dibawakannya. Gabriel tersenyum sambil menepuk kepalanya lalu keluar menggantikan Agni.
“Berhasil, Agni!”
“Hebat!”
“Penampilan loe bagus banget!”
“Sukses!”
“Lebih bagus dari pada latihan loh!”
“Loe cantik banget!”
“Gue jadi fans loe sekarang!”
“Gue juga,”
“Gue mau dong!”
“Ikut!”
“Gue juga mau!”
“Hidup Agni!”
“Agni bintangnya sekarang!”
Pujian terus berdatangan padanya. Setelah acara selesai, banyak yang memberikannya bunga. Bahkan ada yang meminta tanda tangannya dan berfoto bersama. Agni benar-benar bintangnya hari itu.
“Bravoo!! Selamat, ya!” Cakka memeluk Agni.
“Kamu bagus, sayang.” puji mama sambil memeluk Agni. Agni tertawa senang.
“Untung mama udah ambil foto kamu yang banyak.”
“Gue juga ngerekam loe.” Cakka memperlihatkan kamera yang dibawanya.
“Ngapain loe ngerekam gue?” tanya Agni.
“Buat kenang-kenangan, bunda yang minta. Tadinya dia mau dateng, tapi karna ada rapat penting jadi gue disuruh ngerekam penampilan loe. Lagian om, Riko, Arsyad-Irsyad juga pasti mau liat.” senyum Cakka jail.
“Dasar loe..”
“Agni!” Agni menoleh. Gabriel berdiri di belakangnya.
“Kak Gabriel, sini kak. Agni kenalin sama mama.” Gabriel menghampiri mereka dan mencium tangan mama. Cakka pasang muka masam.
“Gabriel, tante.”
“Ma, kak Gabriel ini yang ngebantu Agni di belakang panggung tadi, jadi Agni nggak grogi.”
“Wah, makasih banget ya. Dari dulu Agni emang suka demam panggung.” kata mama.
“Nggak masalah tante, aku juga pernah kayak gitu.” Gabriel tersenyum. Sedetik kemudian, Gabiel sudah akrab dengan mama Agni.
“Eh, foto bareng yuk! Biar tante yang ambil gambarnya. Mumpung Agni masih pake kostum, tuh.” ajak mama.
“Ayo!” kata mereka bareng. Pertama Agni berfoto dengan Gabriel, lalu Cakka.
“Hei, foto bertiga yuk!” ajak Agni. Gabriel melirik Cakka yang buang muka. Tanpa peduli Agni menarik tangan Gabriel dan merangkul Cakka.
“Say CHEESE!” Agni tertawa. Tanpa disadari, sepasang mata sedang memperhatikannya dari tadi.
***
1 minggu kemudian..
“Agni! Loe nggak daftar?!” Gita berlari menghampiriku yang sedang berjalan menuju perpustakaan.
“Daftar apaan?” tanyaku singkat. Gita mengetuk-ngetuk kepalaku.
“Kok nanya sih non?? Daftar buat jadi pemeran di pementasan drama!”
“Emang ada acara kayak gitu?”
“Haduuuhhh... loe kok ketinggalan jaman banget, sih. Bentar lagi kan acara ulang tahun sekolah kita! Tiap ekskul diharuskan berpartisipasi.”
“Kan gue dari IMS, kenapa harus ikut drama?” tanyaku lagi. Gita geleng-geleng kepala.
“Lama-lama gue getok juga loe! Acara ulang tahunnya kan dari pagi, nah tiap ekskul itu ngasih satu pertunjukkan buat sekolah. Acara puncaknya itu drama malem harinya. Buat tahun ini OSIS nentuin temanya ‘Alice In The Wonderland’ versi musikal.” jelas Gita.
“Tapi kan kita nggak punya ekskul drama?” Agni masih nggak ngerti.
“Itu gunanya ada audisi!!! Pemerannya diambil dari murid-murid, jadi semua bisa ambil bagian! OSIS yang jadi penanggung jawabnya.” Gita ngomong panjang lebar kali tinggi sama dengan nggak ngerti.
“Loe ikutan audisi? Terus apa hubungannya sama gue?”
“Loe kan anggota IMS!!!!” Gita gemas. “Masa loe nggak mau ikut drama musikal sih?!”
“Nggak tuh.” Kata Agni sambil lewat. Gita manyun di belakangku. Sebuah ide muncul di kepalanya.
“Paling nggak loe harus nyoba.” gumamnya sambil tertawa kecil.
Agni berjalan menyusuri rak demi rak sambil telunjuk kanannya mencari sesuatu. Tangan kirinya sudah memegang buku. ‘Mana, sih? Kok nggak ada.’ batinnya. Matanya bersinar saat menemukan buku yang dicarinya di rak atas. Agni mencoba menggapainya tapi nggak bisa. ‘Sekalinya ketemu, susah banget. Awas kalo makalah gue nggak dinilai sama tuh guru!’ makinya dalam hati. Tiba-tiba sebuah tangan mengambil buku yang diinginkannya.
“Nih. Kamu mau ambil ini, kan?”
“Makasih, kak. Nggak kebayang deh kalo harus seharian kayak gitu tapi bukunya nggak dapet-dapet.” kata Agni.
“Mau ngerjain tugas? Kerjain bareng-bareng yuk.” ajaknya. Agni mengangguk. Mereka duduk di bangku dekat jendela.
“Wah, disini pemandangannya bagus banget.” kata Agni.
“Iya, ini tempat favorit kakak. Soalnya disini bisa ngelepas stress.” Gabriel membuka bukunya.
“Oiya, kalung kakak masih sama Agni. Mau dikembaliin tapi nggak pernah ketemu.” Agni melepas kalungnya.
“Kamu simpen aja kalungnya.” Gabriel memegang tangan Agni.
“Tapi kan ini dari ayah kakak.”
“Nggak apa-apa, kamu lebih butuh. Ayah juga pasti nggak bakal nolak kalo kalungnya dipegang sama kamu.” Gabriel tersenyum. Agni menurut dan memakai lagi kalungnya.
“Kakak hebat, deh. Selalu dateng tepat waktu Agni lagi susah.”
“Kayak pangeran, ya?” katanya sambil tersenyum. Agni tertawa kecil dan membuka bukunya.
“Nggak juga, kan pangeran pake baju putih. Dan selalu nolongin putri dari bahaya.”
“Jadi kamu baru akuin kakak sebagai pangeran, kalo pake baju putih dan nolongin kamu dari bahaya, gitu?” kata Gabriel. Agni tertawa.
“Agni kan bukan putri!”
“Tapi di hati kakak iya.” Gabriel menatap mata Agni. Agni terdiam dan kembali mengerjakan tugasnya.
“Cakka mana? Biasanya nempel mulu sama kamu.” tanya Gabriel.
“Cakka lagi sakit, hari ini nggak masuk.” jawab Agni. Gabriel tersenyum kecil.
“Jadi nanti kamu pulang sendiri?”
“Ya, terpaksa begitu. Tapi Cakka udah wanti-wanti buat lapor dia begitu sampai di rumah. Takut Agni nyasar, katanya.”
“Kalo gitu kakak anterin aja, gimana? Dari pada kamu nyasar.” pancing Gabriel. Agni terlihat berfikir. “Sekalian kakak mau beli sesuatu dan minta pendapat kamu.”
“Ya.. boleh deh.” kata Agni akhirnya. Gabriel bersorak dalam hati.
Bel pulang sekolah berbunyi. Agni membereskan bukunya dan berjalan keluar kelas dengan teman-temannya. Saat mereka tiba di depan gerbang, terlihat Gabriel yang sudah memakai jaket sedang duduk di motornya. Teman-temannya menahan napas.
“OMG! Keren banget!” kata Oik.
“Gila, cakep banget!” sambung Gita.
“Loe kan udah punya Rio! Gabriel punya gue!” lanjut Zevana.
“Gabriel emang cakep bangeeett...” Nova histeris.
“Dia lagi nungguin siapa?” tanya Rahmi. Emang Rahmi yang suaranya paling kalem. Tepat pada saat itu, Gabriel melihat ke arah mereka dan tersenyum.
“Dia senyum kesini! Kesini loh!”
“Eh, eh, kok dia nyamperin kita, sih?!”
“Makin deket! Makin deket! Haaaa...!!!” anak cewek pada ribut. Rahmi melirik ke arah Agni.
“Kita pulang sekarang?” tanya Gabriel pada Agni. Jelas aja cewek-cewek pada histeris. Agni pulang bareng Gabriel????!!!!
“Eh, iya.” Agni melambaikan tangan pada teman-temannya. Dan pergi bersama Gabriel. Semua orang yang lewat melihat mereka.
“Sejak kapan Agni sama Gabriel..” Nova nggak ngelanjutin kata-katanya waktu ngeliat Agni naik ke motor dan pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar