Jumat, 02 Juli 2010

cerbung IC : satu hati_part5

Di lapangan...
Suasana ramai terdengar jelas di lapangan. Palajaran olahraga kali ini bermain basket, pelajaran yang membuat Agni semangat. Agni bermain dengan anak cowok karena ternyata nggak ada satupun anak cewek di kelasnya yang bisa main basket! Dalam babak pertama Agni sudah berhasil mencetak 2 tembakan, dan sekarang menuju akhir dari babak kedua. Jumlah tembakan yang sudah dicetaknya jadi 5! Anak cewek yang lain bersorak menyemangatinya. Peluit tanda petandingan usai pun berbunyi. Mereka saling bersalaman.
“Gerakan kamu bagus, Agni.” puji uncle Joe, guru olahraga kami. Sebenarnya kami harus memanggilnya pak Joe, tapi karena dia masih muda dan sangat bersahabat kami memanggilnya uncle. Nggak apa-apa dong, toh dia juga nggak nolak.
“Thanks, uncle.” kataku sambil mengelap keringat.
“Pernafasan kamu pasti bagus. Uncle jadi penasaran, pingin denger suara kamu kalo dibarengi koreografi.” katanya semangat. Aku tersenyum masam, uncle Joe juga seorang mentor koreografi di IMS selain kak Uci, mentor vokal.
“Wah, nggak tau deh uncle. Aku belum pernah nyanyi sambil koreo.” kataku jujur. Uncle tertawa.

“Sayang...”
“Apanya?”
“Manis, polos, bisa nyanyi, main gitar, jago basket. Kalo senyum juga cantiikk banget. Jadi sayang gue kasih ke loe.” kata Dayat sambil melihat keluar jendela dengan teropong di ruang OSIS. Jendela ruang OSIS memang langsung menghadap lapangan. Gabriel tertawa.
“Loe kan udah punya Shilla, masih aja ngincer yang lain. Lagian loe sendiri yang ngasih dia ke gue.” kata Gabriel.
“Yee.. awalnya kan gue nggak tau dia sehebat ini, kalo gue tau juga nggak bakal gue kasih. Coba gue ketemu dia sebelum Shilla, udah gue samber tuh anak.”
“Mending dia mau sama loe! Muka loe ancur gitu!” ledek Gabriel. Dayat melemparinya dengan kertas yang ada di meja.
“Ancur-ancur gini juga masih ada yang mau sama gue. Emang loe, tampang cakep, fans loe segudang, tapi sampe sekarang nggak laku-laku!” balas Dayat. Gantian Gabriel melemparinya dengan kertas. Mereka pun saling lempar. Rio cuma diam sambil memandang keluar jendela. Pintu ruangan terbuka. Debo yang nongol langsung geleng-geleng kepala.
“Heh! Pada MKKB ya?! Sadar umur, dong!” kata Debo.
“Bodo amat! Emang gue pikirin!” kata Dayat.
“Yel, loe dipanggil kepala sekolah, tuh. Disuruh ke kantor sekarang.” Debo nggak dengerin kata-kata Dayat. Gabriel berhenti dan merapikan bajunya.
“Oh, oke deh.” katanya lalu keluar dengan Debo.
“Loe nggak setuju, kan?” tanya Dayat yang masih ngos-ngosan.
“Apanya?”
“Soal taruhan itu. Loe nggak setuju kalo Agni yang jadi objeknya. Kenapa? Padahal selama ini loe fine-fine aja kalo kita taruhan.” tanya Dayat lagi. Walaupun baru setahun kenal, tapi Dayat sudah bisa mengerti jalan pikiran Rio. Kalau ada hal yang nggak disukainya, Dayat pasti tahu.
“Dia nggak pantes loe gituin.” kata Rio singkat. Dayat mengangkat alis.
“Dan kenapa loe bisa bisa bilang gitu?”
“Loe nggak kenal dia.”
“Jadi loe kenal?” kejar Dayat. Rio menghela napas. Dayat paling nggak bisa diboongin. Rio mengangguk.
“Dia.. adik kelas gue di SMP. Dari dulu gue kagum banget sama dia. Dia itu.. istimewa.” Rio memulai ceritanya. Dayat mendengarkan. “Agni itu anak yang unik, dia bisa membawa keceriaan, berbakat, baik, polos dan.. cantik. Walaupun lebih cantik sekarang dari pada dulu, dulu dia tomboy banget, rambutnya juga pendek. Waktu pertama kali gue kira dia cowok, ternyata cewek. Sekarang dia udah banyak berubah, makin keliatan cantik. Kalo loe udah kenal dia loe pasti ngerti kenapa gue nggak mau dia jadi objeknya.” Dayat manggut-manggut.
“Kalo gue liat dari cerita loe, menurut gue loe suka sama dia. Iya, kan? Makanya loe nggak setuju sama rencana ini.” tebak Dayat. Rio tersenyum.
“Udah 4 tahun, tapi perasaan itu nggak bisa hilang.”
“Jadi sebenernya loe takut Gabriel suka sama dia, kan?”
“Mungkin iya. Dia itu beda, punya daya tarik sendiri. Dia bisa bikin semua orang gampang suka sama dia.”
“Apa dia tau perasaan loe?”
“Hampir, gue pernah nulis surat ke dia sebelum lulus. Biasalah, cara lama. Tapi nggak pernah dibales. Mungkin itu jawabannya. Gue cuma nggak mau dia sakit nanti.” Dayat mengangguk.
“Gue ngerti, tapi gue juga punya rencana lain dan cuma dia yang bisa ngebantu gue. Cewek lain nggak bisa.”
“Rencana apaan?”
“Loe liat aja nanti.”


“Gue duluan ya!” Agni melambaikan tangan ke Gita dan Rahmi lalu pergi menuju studio. Saat melewati lapangan basket, dia melihat Cakka yang sedang pemanasan dengan teman-temannya. Agni mengenali beberapa dari mereka, ada Alvin, Obiet, dan Deva, selebihnya nggak tau. Studio musik memang berhadapan dengan lapangan basket. Dari lapangan kita bisa melihat jelas aktifitas di dalam studio.
“Cakkaaa!!” panggilnya. Cakka menoleh dan melambaikan tangan sambil berlari ke arahnya. Bajunya sudah basah oleh keringat.
“Loe mau latihan?” tanya Cakka dari balik pagar besi yang mengelilingi lapangan. Agni mengangguk.
“Gue jadi khawatir nih.” katanya.
“Kenapa?” tanya Agni.
“Gue takut orang-orang disana sakit kuping denger loe nyanyi.” katanya. Agni mencubit Cakka.
“Awas loe ya!” candanya. Saat sedang asik-asiknya ngobrol, tiba-tiba ada yang memanggil.
“Agni!” panggil seseorang. Mereka menoleh. Gabriel menghampiri mereka.
“Disini rupanya, dicari-cari dari tadi. Ayo latihan.” ajak Gabriel.
“Loe nggak liat dia lagi ngomong sama gue?” kata Cakka ketus.
“Sori, tapi gue nggak ada urusan sama loe. Ayo, Ag.” Gabriel menarik tangan Agni. Cakka yang melihatnya panas, dan memukul pagar besi di depannya.
“Lepasin tangan loe sekarang juga!” bentaknya.
“Kenapa? Nggak suka?” Gabriel tersenyum sinis dan semakin mempererat pegangannya. Cakka memukul pagar semakin keras. Kalo nggak terhalang pagar, mungkin Cakka sudah menghabisi Gabriel sekarang.
“Cakka, stop! Loe apa-apaan sih?!” Agni melepaskan tangannya dan menenangkan Cakka. “Loe udah janji sama gue nggak bakal marah-marah kayak gini lagi.” kata Agni. Cakka mulai tenang.
“Selesai latihan gue ke studio.” kata Cakka pelan. Agni mengangguk. “Janji sama gue, jangan pergi sebelum gue dateng.” kata Cakka.
“Iya, gue janji. Sekarang gue latihan dulu, udah ditunggu. Loe bisa ngawasin gue kan dari sini.” Cakka mengangguk. Agni tersenyum dan pergi bersama Gabriel.

“Kamu ada hubungan ya sama Cakka?” tanya Gabriel selesai latihan. Agni yang sedang mengelap keringatnya menatap Gabriel bingung.
“Kenapa? Pertanyaan kakak aneh?” katanya lagi.
“Nggak, cuma heran aja. Setiap orang nanya begitu. Agni sama dia nggak ada apa-apa, kok.” jawab Agni. Setelah hampir 2 jam latihan, mereka mulai dekat.
“Cakka kayaknya protektif banget.” pancing Gabriel.
“Wajar, kita kan sahabat dari kecil.” kata Agni cuek.
“Yakin cuma itu? Nggak ada alasan yang lain?”
“Emang ada alasan apa lagi?” Agni minum dari botolnya.
“Yaa.. barangkali dia suka sama kamu.” kata Gabriel.
“Uhukk.. uhukk...” Agni tersedak. Gabriel panik.
“Loh, Ag? Kamu kenapa?” Gabriel menepuk-nepuk punggung Agni dan menyandarkan kepala Agni di bahunya. Cakka masuk studio dan melihat Agni dengan Gabriel. Melihat Agni yang terbatuk-batuk ia pun berlari.
“Agni!!” teriak Cakka. Gabriel menoleh.
“Ag, loe kenapa?” Cakka merebut Agni dari tangan Gabriel. Gabriel menatapnya sinis. “Loe apain Agni?!” tanya Cakka.
“Gue nggak ngapa-nga..”
“Jangan ngeles loe! Makanya gue nggak mau loe deket-deket Agni! Loe nggak bisa jaga dia!” potong Cakka. Gabriel mulai emosi.
“Jadi loe pikir loe bisa jagain dia?! Eh, denger ya, loe bukan satu-satunya cowok yang bisa ada di samping dia! Jagain dia aja belum tentu loe bener! Jangan belagu deh loe!” balas Gabriel.
“Denger ya, loe tuh..”
“Dieeeeeeeeemmmmm!!!!!!!!!!!!!!!!!” Agni berteriak. “Loe berdua bisa nggak sih jangan ribut sebentar aja! Gue nggak apa-apa, jadi jangan bikin masalah disini. Mendingan kita pulang sekarang.” katanya. Gabriel hendak menyentuhnya tapi tangannya ditepis oleh Cakka.
“Biar gue yang urus.” katanya sinis. Gabriel mundur dan membiarkan Cakka membawa Agni.

“Emang sialan tuh anak!” gerutu Gabriel. Dayat bengong mendengar ceritanya. “Baru kali ini ada orang yang berani bentak gue di depan muka gue langsung! Emangnya dia pikir dia siapa, berani-beraninya ngebentak gue?! Pake bilang gue nggak bisa jagain Agni lagi! BULLSHIT!” Gabriel menendang air di bawah kakinya. Saat ini mereka ada di kolam renang rumah Gabriel, Dayat dan Rio menginap di rumahnya.
“Baru kali ini gue liat loe segini marahnya gara-gara cewek.” komentar Rio.
“Iya, biasanya malah loe yang bikin mereka marah.” kata Dayat.
“Gimana gue nggak kesel, padahal gue lagi berduaan sama Agni dan momennya pas banget! Eh, tau-tau si sialan itu muncul dan ngerebut Agni gitu aja dari gue! Loe bayangin tuh!” katanya dengan penuh emosi.
“Jadi intinya loe marah gara-gara si sialan itu ngerusak rencana loe, atau karena dia ngerebut Agni dari loe?” tanya Dayat.
“Ya, jelaslah gara-gara dia ngerebut Agni dari gue!”
“Jadi, loe marah sama Cakka karna dia ngerebut Agni dari loe dan intinya, loe takut kehilangan Agni yang artinya, loe suka sama dia?” kata Dayat panjang lebar kali tinggi. Gabriel terdiam. Pertanyaan Dayat langsung menusuk tepat di hatinya.
“Nggak..nggak.. Nggak mungkin lah gue suka sama dia. Gue deketin dia juga cuma buat taruhan kan? Jadi buat apa gue suka sama dia?” katanya dengan nada ragu.
“Loe yakin cuma buat taruhan? Nggak ada yang lain?” selidik Dayat.
“Ya.. ya nggaklah! Loe jangan ngaco deh!” Gabriel bangkit dan masuk ke dalam rumah. Dayat dan Rio berpandangan.

“Sori ya..”
“Buat apa?”
“Tadi gue marah lagi.” kata Cakka dari balik jendela kamarnya. Agni yang sedang duduk santai di ambang jendela sambil makan kue buatan mamanya tertawa. Ini adalah tempat favorit mereka kalau malam. Dari sini bintang dan bulan terlihat jelas.
“Santai aja lagi, lagian loe juga kenapa sih, sensi banget? Kayak lagi dapet aja.” kata Agni.
“Jangan samain gue sama loe, dong! Loe juga kalo lagi dapet gue terus yang dipukulin.”
“Abis loe gembul, sih! Jadi enak dipukulin, membel gitu!” ucap Agni sambil terbahak-bahak. Cakka melemparinya dengan bola basket di tangannya. Agni menangkap bolanya dengan gesit.
“Wuiihh.. hati-hati mas. Danger area, nih!” Agni menunjuk ke bawah. Cakka tertawa. Kamar mereka sama-sama di lantai 2.
“Biarin! Biar loe jatoh juga gue nggak mau nolongin!”
“Teganya dirimu.. teganya.. teganya.. teganya..” Agni malah nyanyi dangdut yang jelas bikin Cakka geli. Mereka tertawa terbahak-bahak.
“Wooiii!!! Berisiiiikkk!! Nggak tau orang lagi istirahat apa??!!” teriak Riko dari bawah. Kamar Riko emang persis di bawah kamar Agni, jadi kalo mereka berisik jelas kedengeran dari kamar Riko. Mendengarnya, Agni dan Cakka langsung masuk dan menutup jendela masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar