Hari masih siang tapi hujan turun begitu deras. Udara pun mulai terasa dingin. Suasana sepi di rumah. Aku masuk ke kamar dan duduk di kasur, menghangatkan diriku sendiri di tengah dinginnya hujan. Kubuka laci dan kuambil sahabat setia yang mengetahui semua masalah, kebahagiaan, kekesalanku, juga momen-momen berharga dalam hidupku : notes. Notes tebal yang diberikan Aini sebagai hadiah tahun baru waktu kami kelas 3 SD, waktu aku masih memiliki keluarga yang sempurna. Aini memberikannya padaku supaya aku dapat mencurahkan semua masalah yang tidak bisa kukatakan padanya. Tanpa sadar aku tersenyum. Dia memang selalu tahu apa yang kuperlukan.
Kubuka notes-ku dan membaca halaman-halaman yang sudah hampir terisi seluruhnya. Lucu juga membayangkan banyaknya hal yang sudah kami lalui bersama. Aku berhenti pada sebuah halaman. Ini salah satu pengalaman kesukaanku, aku memberinya judul CINTA=COKLAT. Aneh? Memang, aku suka memberi judul pada semua pengalamanku agar mudah mengingatnya. Ini cerita tentang hari Valentine waktu kami kelas 6 SD.
“Hei, gembul! Jangan bengong aja, tangkap!” Aini melempar bola ke arahku. Aku menangkapnya dengan sigap. Aku berlari menghindari pemain yang lain dan melempar bola ke arah ring dan masuk!!! Aku melompat kegirangan.
“Yeeeeeiii!!!! Kita menang!!” teriakku. Aini melompat-lompat di punggungku dan mengacak-acak rambutku seperti biasa dia lakukan kalau sedang senang.
“Bagus!!”
“Gimana, gue hebat kan?” kataku sedikit menyombong.
“Jangan sombong dulu, kalo loe bisa ngalahin tim gue baru gue acung jempol!”
“Tim loe yang mana?” tanyaku.
“Tim duo kebanggan gue, Ardi dan Arvi!” katanya sambil tertawa dan berlari. Ardi dan Arvi adalah kakak kembarnya. Aku menarik rambut buntut kudanya yang melambai-lambai.
“Adudududuhh... sakit tau!!” Aini memukul-mukul bahuku. Aku tertawa senang dan merangkulnya.
“Hei, gue boleh nanya nggak?” tanyaku pada Simon.
“Tanya apaan?”
“Kenapa anak cewek pada heboh beli coklat, sih?” tanyaku yang terheran-heran melihat anak-anak cewek sekelasku yang dari tadi mondar-mandir ngomongin coklat. Simon tertawa.
“Pertanyaan loe aneh. Masa kayak gitu aja nggak tau.” katanya. Aku menggeleng.
“Payah, loe! Coba gue tanya, sekarang bulan apa?” tanyanya. Aku berpikir sebentar.
“Februari.. kan?” kataku ragu-ragu.
“Tanggal berapa?”
“Tanggal.. 10, kalo nggak salah.” kataku lagi.
“Kalo bulan Februari ada peringatan apa?” tanyanya lagi. Aku mulai berpikir. 1 detik.. 2 detik.. 3 detik.. 4 detik.. 5 detik.. 6 detik.. 1 menit..
“Aaah kelamaan mikir, loe! Hari Valentineee!!!!! Masa loe nggak tau?!” Simon berteriak di kupingku. Aku masih bengong.
“Valentine itu.. apa?” tanyaku bingung. Simon menepuk jidatnya sendiri.
“Aduuh.. Ky, jelasin ke dia nih!” katanya pada Rizky yang baru aja duduk di bangkunya di sebelah Simon. Rizky melihatku.
“Loe nggak tau Valentine?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Sama, gue juga nggak tau.” katanya singkat. Simon memelototinya. “Yang.. yang gue tau Valentine itu hari kasih sayang. Orang-orang biasa nunjukkin kasih sayang lewat coklat.” sambungnya cepat karena dipelototi Simon.
“Nunjukkin kasih sayang ke siapa?” tanyaku.
“Siapa aja, mama, papa, saudara, adik, kakak, nenek, kakek, tetangga. Tapi kebanyakan orang ngasih coklat ke orang yang mereka suka. Katanya sih, ada yang bilang kalo kita ngasih coklat buatan kita sendiri ke orang yang kita suka waktu Valentine, kita akan bersama orang itu selamanya.” jelas Rizky.
“Selamanya? Apa bener?” tanyaku antusias.
“Katanya sih mitos, tapi ada juga yang jadi kenyataan.” kata Rizky. Aku menengok ke belakang. Aku melihat Aini yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Aini melihatku dan melambai. Aku hanya membalas dengan senyum.
“Jadi.. apa yang ngasih itu harus cewek?”
“Nggak juga, cowok juga boleh ngasih. Kakak gue ngasih coklat ke cewek yang ditaksirnya tahun lalu dan sampe sekarang mereka masih jadian.” kata Rizky. Aku mengangguk mengerti.
Aku membuka pintu kamar orang tuaku diam-diam. Kunyalakan senter karena gelap. Aku nggak berani nyalain lampu karena takut ketahuan. Yang mamaku tahu aku lagi tidur sekarang. Mereka lagi asik ngobrol di bawah, dan kalo udah ngobrol biasanya mereka lama balik ke kamar. Aku menuju lemari bufet kecil di pojok kamar tempat mamaku menyimpan koleksi buku resepnya. Kubuka satu-satu dengan buru-buru sampai akhirnya aku melihat sebuah buku kecil tipis bersampul merah dengan gambar kue diatasnya. Aku mengambilnya dan berdiri.
“Ketemu!” kataku.
“Apa yang ketemu?” suara mama terdengar. Lampu menyala seketika. ‘Oopss..!’
“Ngapain kamu, Rakka? Bukannya tadi udah tidur?” tanya papa. Aku berbalik, buku kusimpan di belakang punggungku.
“Rakka nggak ngapa-ngapain kok, Rakka nggak nyari apa-apa, nggak ngambil apa-apa juga.” kataku dengan senyum tanpa dosa.
“Apa yang kamu umpetin itu?” tanya mama. Aku berjalan menyamping menuju pintu.
“Nggak, bukan apa-apa kok. Rakka tidur ya pa, ma..” aku langsung berlari menuju kamar. Papa melihatnya heran. Mama masuk ke kamar.
“Kenapa dia, ma?” tanya papa.
“Apapun yang dia ambil, dia ngasih mama kerjaan tambahan malam ini.” mama berkacak pinggang melihat tumpukan bukunya yang berantakan di bawah bufet.
Aku bolak-balik di dapur. Hari ini hari Minggu, jadi aku memutuskan untuk diam di rumah dan berusaha membuat coklat. Tangan dan mukaku sudah kotor dan lengket terkena coklat. Buku resep mama kutaruh di sebelahku.
“Jadi ini yang kamu ambil dari kamar mama kemarin?” mama muncul di belakangku. Aku tersenyum kecil.
“Maaf, ma. Rakka nggak mau bohong sama mama tapi Rakka malu bilangnya. Rakka malu kalo mama tau Rakka mau bikin coklat.” kataku. Mama memegang pundakku.
“Kamu nggak usah malu, sayang. Itu bukan hal yang buruk. Mama malah seneng kamu mau belajar masak.” Mama mencium pipiku lembut, salah satu hal yang paling kusuka. Aku tersenyum.
“Aini tau kamu mau ngasih dia coklat?” tanya mama.
“Kata siapa Rakka mau bikin coklat buat Aini?” tanyaku. Mama tersenyum.
“Tertulis di muka kamu. ‘Aku mau bikin coklat yang paaliiing enak buat hadiah Valentine-ku buat Aini!’” mama mencubit hidungku. Aku tersipu malu.
“Keliatan banget, ya?”
“Mama tau kamu suka sama dia, jadi nggak usah ngumpet-ngumpet gitu. Sini, mama bantuin kamu.”
“Jangan.. jangan.. jangan..!! Rakka mau bikin sendiri!” aku mengelak. Mama tertawa.
“Oke, oke.. terserah kamu aja. Kalo bukan coklat buatan sendiri kan nggak bisa ‘bersama selamanya’ ya?” mama tertawa menggodaku. Aku mencoba nggak nanggepin omongan mama. Yang penting sekarang, bikin coklat dulu!
14 Februari..
Sore ini aku sengaja datang ke tempat Aini les gitar di dekat taman merpati. Taman ini disebut taman merpati karena ada banyak sarang merpati yang dibuat oleh warga. Kalau sore disini lumayan ramai, banyak orang berjalan-jalan, duduk santai sambil ngasih makan merpati, juga anak-anak yang bermain di area permainan.
Aku duduk di salah satu bangku yang kosong. Aku memegang kotak berisi coklat yang sudah kubuat mati-matian. Nggak lama nunggu, aku melihat Aini berjalan keluar dari tempat lesnya. Dia berjalan ke arahku.
“Aini!!” panggilku. Aini melihatku dan melambai.
“Tumben loe kesini, mau ngapain?” tanyanya seperti biasa selalu dengan senyuman. Aku baru mau bicara waktu melihat kotak kecil di tangannya.
“Itu apa, Ai?” tanyaku.
“Oh, ini dari Denis, temen gue di tempat les. Coklat Valentine katanya.”
“O.. oh.. coklat Valentine..” aku langsung menyembunyikan coklat buatanku di kantong celana.
“Hei, gimana kalo kita makan bareng coklatnya? Kita makan disana aja.” Aini menarikku ke salah satu warung disana. Aini membuka bungkusnya dan membagi dua coklatnya denganku.
“Waah.. enak!” kata Aini. Aku memakannya sedikit.
“Iya, enak.” kataku pelan. ‘Jauh lebih enak dari coklat yang gue bikin!’ batinku.
“Jadi, ngapain loe disini?” tanyanya setelah menghabiskan bagiannya.
“Eh, gue.. gue nggak ngapa-ngapain.. cuma iseng..”
“Boong! Masa loe jauh-jauh kesini cuma buat iseng.”
“Bener! Suer, deh. Gue lagi bt aja dirumah.” kataku lagi. Aini memandangku nggak percaya.
“Trus kotak di celana loe itu isinya apa?”
“Oh, ini.. bukan apa-apa, kok.”
“Coba gue liat.” Aini meraih kotak di celanaku. Aku berusaha menghalangi tapi dia lebih cepat.
“Buat sahabatku, Aini.” dia membaca tulisan yang tertera di bungkusnya lalu memandangku dengan tatapan penuh tanya. Aku tesenyum kecut. Aini membuka bungkusnya.
“Eh, tunggu! Loe nggak usah buka juga nggak apa-apa, kok!”
“Ini buat gue, kan? Terserah gue dong mau diapain!”
“Tapi itu nggak ada apa-apanya! Mendingan dibuang aja!” aku masih berdebat dengan Aini walaupun tau nggak akan menang. Aini melihat isinya dan menatapku.
“Kenapa loe nggak bilang kalo bawa coklat?” tanyanya. Wajahnya terlihat senang.
“Ha.. habis.. loe udah dapet coklat dari orang lain dan rasanya enak banget. Gue jadi minder, apalagi gue baru pertama kali bikin coklat. Pasti rasanya ancur, deh!” aku menunduk.
“Bener loe bikin ini sendiri? Buat gue?” Aini terlihat takjub. Aku mengangguk.
“Nggak usah dimakan juga nggak apa-apa, kok. Ntar kalo loe keracunan, gimana?”
“Konyol, deh! Mana mungkin gue keracunan.” Aini memakan coklatku. Dahinya mengernyit. Nggak lama kemudian dia tertawa.
“Loe bener, gue percaya kalo ini coklat buatan loe sendiri.” katanya masih tertawa. Aku terheran dan memakan coklat itu. Belum sampai di tenggorokan aku langsung memuntahkan semuanya.
“Puaahh!!! Pahiiiitt bangeett!!!” aku mengelap mulut. Aini tertawa melihatku. Aku mengambil coklat itu dari tangannya.
“Mau ngapain?” tanyanya.
“Mau gue buang. Harusnya gue cobain dulu rasanya sebelum dikasih. Coklat dari Denis jauh lebih enak. Yang kayak gini mana bisa dimakan!”
“Kata siapa boleh dibuang? Ini coklat gue, terserah gue mau diapain.” Aini mengambil coklatnya dari tanganku.
“Tapi kan, Ai..”
“Loe nggak boleh ngebuang coklat ini. Ini hadiah dari sahabat gue, dia udah ngebuat ini sendiri susah payah! Biarpun pahit, tapi gue seneng karena dia yang bikin.” kata Aini sambil tersenyum. Aku tertegun mendengarnya. Aini berdiri dan membeli sebuah es krim. Dia membelah coklatnya menjadi 2 dan memberikan potongannya padaku.
“Lihat, es krim ini manis, dan coklat ini pahit. Kalo coklat ini dimakan sama es krim, pahitnya nggak kerasa. Kayak kita berdua, manis dan pahit kita lalui sama-sama. Sebesar apapun kesusahan yang kita hadapi, nggak akan terasa berat kalo kita mau saling berbagi kebahagiaan. Dan gue nggak mau bikin sobat gue kecewa di hari Valentine.” Aini tersenyum lagi. Maniiiissss.... banget. Senyum termanis yang pernah gue liat. Dia mencampur coklat dengan es krim dan memakannya. Aku menirunya dan ternyata memang benar, pahitnya nggak kerasa! Tanpa sadar coklat di tangan kami habis.
“Aah.. enak juga, ya.” ucapku puas. Aini mengacak-acak rambutku dan mengambil gitarnya.
“Sebagai tanda terima kasih gue akan bawain lagu kesukaan loe. Sepanjang jalan kenangan... kita slalu bergandeng tangan...” Aini menyanyikannya dengan gaya jadul abis! Aku tertawa mendengarnya.
“Sini, gue aja yang main. Loe yang nyanyi, tapi yang bener!” ancamku.
“Oke, bos!” dia bergaya TNI. Aku mulai memainkan gitar dan dia yang menyanyi. Hari semakin sore. Matahari senja terlihat bulat dan berwarna oranye dari sini. Kami takjub melihat keindahannya. Tapi rasanya aku lebih takjub melihat senyum manis yang terpancar dari wajah Aini. Ini adalah Valentine pertama dan teindah yang pernah kualami.
Ketukan di jendela membuyarkan lamunanku.
“Rakka!! Rakka!!” terdengar suara Aini memanggil. Aku membuka jendela. Hujannya sudah reda.
“Kenapa?” tanyaku. Aini melihat notes yang kupegang.
“Lagi ngapain loe? Nostalgia sama notes itu lagi? Kenapa nggak beli yang baru aja, itu kan udah jelek.”
“Ini kan notes gue, terserah gue dong mau diapain. Lagian ini kan hadian dari best friend gue.” kataku. Aini tertawa.
“Terserah loe, deh. Eh, coba liat ada pelangi disana!” Aini menunjuk ke atas. Aku mengikuti arah tangannya.
“Nggak ada, mana sih?”
“Itu.. yang itu! Masa loe nggak liat, sih?!” kata Aini. Aku menatapnya.
“Ngapain gue liat pelangi yang jauh kalo di depan mata gue ada bintang yang lebih cantik.” kataku. Aini menoleh.
“Oh, jadi sekarang loe mau jadi Shakespear atau Kahlil Gibran versi remaja? Nggak pantes tau!” Aini menimpukku dengan bantal.
“Sial! Awas loe, ya!” aku balas menimpuknya. Dia menimpukku lagi. Kami terus main timpuk-timpukkan. Aku tertawa. Kalau boleh jujur, sebenarnya Valentine itu bukanlah hari terbaikku. Hari terbaikku adalah setiap hari dimana aku selalu bisa melihat senyumnya yang menyapaku di pagi hari dan menemaniku di waktu malam sebelum aku tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar