“Nah, sedikit lagi selesai.” Angel merapikan baju Agni. Agni cuma diam. Pikirannya melayang kemana-mana.
“Gue mau minta maaf karna udah jadiin loe sebagai bahan taruhan, tapi apa yang terjadi antara loe sama Gabriel bukan bagian dari rencana. Setelah kenal loe, Gabriel beneran sayang sama loe. Dia udah bertekad akan ngelepas taruhan ini dan serius sama loe. Jujur, ini pertama kalinya dia serius sama cewek. Semua cewek sebelumnya cuma mainan buat dia, kecuali loe. Makanya gue mohon sama loe, maafin dia. Sekarang cuma ada loe di hatinya.”
Kata-kata Dayat terus berputar di pikirannya. ‘Apa mungkin Dayat bohong? Tapi buat apa? Apa mereka mau mainin gue lagi? Gue harus gimana sekarang?’ Agni memegangi kepalanya yang pusing.
“Pasti susah, ya?” kata-kata Angel menyadarkannya.
“Apanya?”
“Loe harus tampil ceria malem ini, padahal lagi banyak masalah. Kalo aja Gabriel nggak jadiin loe bahan taruhan, loe nggak akan kayak gini.”
“Gue nggak lagi mikirin itu, kok.” Agni berbohong.
“Loe pasti sayang banget sama dia.” kata Angel sambil terus menata baju yang Agni pakai.
“Nggak, biasa aja..” kata Agni pelan. Angel menggeleng.
“Kalo loe nggak sayang, loe nggak akan sesulit ini ngambil keputusan. Sikap loe yang bimbang antara maafin dia atau nggak ngebuktiin kalo loe sayang sama dia tapi nggak suka sama apa yang dia lakuin.” kata Angel. Agni terdiam. Kata-kata Angel memang benar.
“Mau tau pendapat gue? Gabriel emang ngeselin, tapi sebenernya dia baik, perhatian, penyayang dan bertanggung jawab. Dia nggak gampang suka sama cewek, tapi sekalinya suka dia akan sungguh-sungguh. Apapun akan dia lakuin buat cewek itu.” Angel menggenggam tangan Agni.
“Dia nggak bisa boong sama perasaannya sendiri. Jadi, kalo dia bilang sayang sama loe.. itu pasti bener. Bukan omong kosong.” Agni tersenyum mendengarnya. Angel mengambil kalung Agni yang diberikan oleh Gabriel dari atas meja. Agni melepasnya waktu mau memakai baju tadi.
“Loe nggak akan pernah nyesel sama Gabriel, dia akan selalu jagain loe.” Angel memakaikan kalung itu di leher Agni.
“Thanks..” katanya. Angel tersenyum.
“Sekarang loe harus siap-siap, bentar lagi mulai.” kata Angel. Agni mengangguk pelan dan pergi. Para pemain yang lain sudah bersiap di tempat masing-masing. Dari belakang panggung terdengar nyanyian Divo Idola. Agni kembali terbayang Gabriel, bagaimana perasaannya sekarang? Apa yang dipikirkannya?
Tirai ditutup. Suara nyanyian berganti menjadi tepuk tangan. Agni menyiapkan mentalnya, sekarang gilirannya. Musik mulai bermain, tirai pun dibuka.
Diambil dari kisah ‘Alice In Wonderland’ karya Louis Carrol.
“Gawat, terlambat! Terlambat!” seekor kelinci lewat tergesa-gesa di depan Alice.
“Duh, anehnya! Kok, kelinci pakai baju dan bisa bicara. Mana bawa jam lagi! Sebenarnya dia mau kemana, sih!” Alice kemudian mengejar kelinci itu. Musik bermain, Agni mulai bernyanyi. Dengan riangnya dia memainkan Alice, seakan tidak ada masalah sama sekali. Bagian demi bagian berlalu, pesta teh, tujuh lautan, 12 rasi bintang, cherry dan teh poci, maret, memberikan pasukan kartu pada keilinci, honey apple pie. Semua berjalan lancar. Penonton terlihat antusias dan sesekali tertawa melihat adegan yang lucu.
Gabriel bersandar di pintu masuk hall, memperhatikan Agni dari jauh. Dia masih mengenakan pakaian yang tadi digunakannya waktu tampil, kemeja dengan rompi dan celana panjang yang serba putih. Pikirannya melayang entah kemana.
Pertunjukkan mencapai puncaknya, bulan sabit memantul di ombak. Alice menyanyikan lagu dengan lembut di atas bulan. Penonton terhanyut suasana, sampai terdengar bunyi ‘SREK.. SREKK’. Bulan pun bergoyang, Agni tersentak. Dia menatap ke atas, talinya hampir putus! Agni berpegangan, penonton mulai panik. Dari belakang panggung terdengar suara orang-orang,
“Hei, kenapa ini?!”
“Talinya hampir putus! Kalo nggak cepat Agni bisa jatuh!”
“Semua, siapkan matras!”
“Sebagian ke atas! Tarik talinya!”
“Suruh mereka menutup tirai!”
Suara-suara itu semakin jelas dan ramai, penonton pun mulai ribut.
“Agni, turun dari sana!” suara Zevana terdengar.
“Agni, bahaya!” suara Oik.
“Awas!!”
Agni menatap mereka semua, pikirannya mulai kalut. Bulan bergoyang semakin keras. Karena panik, Agni kehilangan keseimbangan dan terpeleset.
“Aaaahh!!!!” Agni berpegangan pada bulan dengan tangan kirinya. Penonton semakin ribut. Di belakang panggung, seseorang tersenyum puas. Agni mencoba bertahan, tapi tidak lama. Tangannya mulai kesemutan. Disaat seperti ini, dia teringat Gabriel.
“Kakak hebat, deh. Selalu dateng tepat waktu Agni lagi susah.”
“Kayak pangeran, ya?”
“Nggak juga, kan pangeran pake baju putih. Dan selalu nolongin putri dari bahaya.”
“Jadi kamu baru akuin kakak sebagai pangeran, kalo pake baju putih dan nolongin kamu dari bahaya, gitu?”
“Agni kan bukan putri!”
“Tapi di hati kakak iya.”
Agni meringis, hatinya mulai terasa perih mengingatnya. Tangannya sudah tidak kuat lagi. Agni memejamkan matanya. Pegangannya terlepas! ‘Aku jatuuhh..!!’ teriaknya dalam hati. Penonton berteriak histeris. Cakka lagsung berdiri. Setelah itu, yang diingatnya adalah kehangatan di tubuhnya dan bunyi ‘BRUK!’ yang keras.
***
Agni membuka mata pelan, kepalanya terasa pusing tapi kehangatan itu masih terasa. Perlahan dia bisa melihat bulan yang terjatuh di atasnya, tapi bukan di atas badannya. Lalu ia mendengar suara yang lembut memanggil namanya.
“Agni.. Agni.. kamu nggak apa-apa?” katanya dengan nada cemas. Agni melihat seutas wajah yang sangat familiar. Wajah itu menatapnya dengan was-was.
“Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?” katanya lagi dengan nada suara yang masih cemas. Agni terenyuh, matanya mulai berembun. Air mata menetes ke pipinya. Langsung dipeluknya orang itu.
“Takut.. Agni takut..” katanya dengan suara parau karena menangis.
“Nggak apa-apa, ada aku disini.” orang itu memeluknya erat.
“Gabriel!” Gabriel menengok. Dayat berlari ke arahnya.
“Loe harus dibawa ke UKS!”
“Gue nggak apa-apa, kok.”
“Nggak apa-apa gimana! Loe ketiban badan bulan yang jatoh! Jangan bilang nggak apa-apa! Hei, dari pada loe semua bengong mendingan bantuin gue angkat ini!” Dayat berteriak pada orang-orang yang terdiam di belakang panggung. Mereka langsung berkerumun dan mengangkat bulan itu dari punggung Gabriel. Gabriel membantu Agni berdiri.
“Bisa berdiri?” tanyanya. Agni mengangguk pelan lalu berdiri. Gabriel membopongnya ke belakang panggung. Cakka yang melihat mereka terduduk lemas. Hatinya terasa sangat perih.
‘Bego! Kenapa juga gue punya pikiran buat nolongin dia?! Agni itu sukanya sama Gabriel, Gabriel!! Harusnya gue sadar kalo Gabriel nggak akan ngelepas Agni gitu aja! Cakka, loe tuh udah nggak dibutuhin lagi! Kapan loe bisa sadar?!!’ Cakka memaki dirinya sendiri.
“Heh! Ngapain loe bengong aja disini?! Ayo cepetan, Agni pasti butuhin loe!” Zevana menarik tangan Cakka. Cakka menepisnya.
“Dia nggak butuh gue, Gabriel ada disana.” katanya. Zevana menggelengkan kepala.
“Sejak kapan loe jadi lemah gini? Pliss Cakka.. loe sahabatnya! Sahabat yang selalu dia butuhin kapanpun! Jangan samain posisi loe sama Gabriel! Kalian berdua nggak sama. Kalo bukan loe siapa lagi yang bisa dia andelin?” kata Zevana di depan muka Cakka. Cakka mengangkat wajahnya. Kata-kata Zevana memang benar! Dia nggak bisa disamain sama Gabriel. Cakka berdiri dan langsung berjalan ke belakang panggung.
“Bagus! Sekarang gue yang ditinggal!” Zevana menggerutu.
“Untung nggak ada yang parah.” kata Dayat.
“Kan udah gue bilang nggak apa-apa, loe sih ngeyel.” sahut Gabriel. Mereka baru dari UKS memeriksa kondisi Gabriel. Walaupun dibuat dari bahan yang nggak berbahaya, tapi tetap saja bulan sebesar itu bisa melukai orang. Gara-gara kejadian tadi pertunjukkan dihentikan. Penonton yang cemas berkali-kali menanyakan kondisi Agni pada panitia dan guru. Mereka sampai kewalahan menanganinya. Gabriel dan Dayat berjalan menuju ruangan tempat Agni berada. Banyak yang berkumpul disitu, ada Zevana, Gita, Rahmi, Oik, Nova, Angel, Cakka (pastinya), Alvin, Ozy, Deva dan Debo. Mereka langsung menoleh waktu Gabriel masuk.
“Gimana keadaan loe?” tanya Gabriel. Agni hanya diam. Mereka yang tahu situasi memutuskan untuk pergi dari ruangan itu.
“Eh, kita keluar dulu ya. Kalo perlu apa-apa telfon gue aja.” kata Zevana sambil keluar diikuti dengan yang lain. Cuma Cakka yang tinggal.
“Ag? Loe nggak apa-apa, kan?” tanya Gabriel lagi.
“Dasar bodooooohhhhhh!!!! Loe tuh orang paling bodoh yang pernah gue kenal!!!” Agni malah teriak ke Gabriel. Jelas Gabriel kaget. ‘Apa salah gue?’
“Ag, apa gue salah?” tanya Gabriel nggak ngerti.
“Dasar! Loe gila ya?! Ngapain loe nolongin gue?! Kan jadi loe yang ketiban! Untung nggak apa-apa, coba kalo loe luka! Kalo loe kenapa-napa gimana?!” kata Agni masih teriak. Gabriel bengong sebentar lalu tertawa.
“Jadi loe khawatir sama gue?” tanya Gabriel geli.
“Ya iyalah!”
“Apa itu artinya loe udah maafin gue?” tanya Gabriel sambil tersenyum. Agni terdiam dan mengangguk.
“Gue nggak akan maafin diri gue sendiri kalo loe kenapa-napa.” Gabriel menatap mata Agni lurus dan memegang tangannya.
“Apa loe mau balikan sama gue lagi?” tanya Gabriel was-was. Apa Agni akan mengusirnya? Tanpa diduga Agni langsung memeluk Gabriel.
“Jangan pernah tinggalin gue lagi, jangan pernah..” kata Agni pelan. Gabriel menggeleng.
“Sampai kapan pun, loe nggak akan gue lepas.” Gabriel memeluknya erat. Dayat bernapas lega dan meninggalkan mereka. Cakka memalingkan muka dan pergi dari ruangan itu.
“Jadi itu keputusannya?” kata seseorang di depan pintu. Cakka terhenti.
“Agni udah nemuin orang yang pas buat dia. Jangan ganggu dia lagi.” kata Cakka pada orang itu.
“Loe sendiri? Apa loe rela ngeliat Agni sama orang lain?” tanyanya. Cakka terdiam. “Loe nggak bisa dapetin dia kalo selalu ngalah.” sambungnya. Cakka menatapnya lurus.
“Dan loe nggak bisa jadi orang yang berguna buat dia kalo selalu mengganggu. Agni menyayangi Gabriel, Gabriel juga. Jadi apa lagi? Apa harus ngorbanin perasaan orang lain buat kebahagiaan diri sendiri? Sori, itu bukan gue.” Cakka melangkah pergi.
Agni sedang membereskan barangnya waktu Rio masuk ke dalam ruangan. Gabriel sedang keluar.
“Loe balikan lagi sama Gabriel?” tanyanya. Agni menghela napas.
“Pliss.. gue mohon banget sama loe jangan hakimin gue lagi. Gue udah cape, yang gue mau sekarang cuma hidup dalam damai. Jadi apapun yang loe bilang gue nggak peduli dan nggak akan berubah pikiran.” kata Agni. Rio tertawa.
“Siapa yang mau hakimin loe? Gue cuma mau bilang kalian pasangan yang serasi. Dan Gabriel orang yang baik, dia bisa jagain loe.” jelas Rio. Agni bengong mendengarnya.
“Maksud loe?” tanya Agni heran.
“Gue kesini mau pamitan sama loe, besok pagi gue berangkat ke Manado ikut bokap gue dinas. Sekalian minta maaf buat semua yang gue lakuin sama loe selama ini.” kata Rio. Agni terdiam.
“Loe.. mau pindah?”
“Iya, gue cuma nggak enak kalo pergi tapi masih punya salah sama loe semua. Loe mau maafin gue, kan?” tanya Rio. Agni tersenyum.
“Gue udah maafin loe dari dulu, kok. Tapi sayang, padahal loe udah dapet banyak temen disini.”
“Yaah.. resiko kalo punya bokap TNI. Makanya loe kalo nyari cowok jangan kayak bokap gue, kasian anak loe ntar.”
“Kalo gitu gue nggak mau sama loe, ah.”
“Ya iyalah, loe kan udah punya Gabriel.” ledek Rio. Mereka berdua tertawa.
“Gue pasti kangen banget sama loe.” kata Rio. Agni tersenyum.
“Gue juga.” katanya. Rio mendekat dan memeluk Agni.
“Baik-baik, ya. Gue doain loe langgeng sama Gabriel seumur hidup loe.”
“Thanks, loe juga baik-baik ya. Gue doain loe dapet cewek yang tepat buat loe.”
“Kayaknya gue nggak bisa buka hati lagi buat cewek manapun. Soalnya hati gue udah sama loe.” ujar Rio. Agni memukul pundaknya pelan.
“Jangan gitu dong, kesannya gue tuh orang jahat yang nahan loe buat gue sendiri.” kata Agni. Rio tersenyum dan berjalan keluar ruangan.
“Gue pergi dulu, titip salam gue buat Cakka.” katanya.
“Pasti gue sampein.” Agni mengikutinya sampai pintu.
“Bye.. semoga kita bisa ketemu lagi.” ucap Rio sambil melangkah pergi. Agni hanya bisa memandang kepergiannya dalam diam. Ada perasaan damai yang sulit dijelaskan di dalam hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar