“Huuhh!! Dasar Cakka nyebelin!” gerutu Agni. Dari tadi dia cuma muter-muter nggak jelas di dalam sekolah. Ternyata sekolahnya gede banget, Agni sampe bingung ada dimana ia sekarang.
“Kelas gue yang mana ya?” Agni mengambil buku panduan yang juga ada peta sekolah di dalamnya. “Gue kan kelas 10-Z, berarti kelas gue di...”
BRUK! Saking seriusnya Agni menabrak seseorang. Buku yang dipegangnya jatuh semua, begitu juga buku anak itu. Kertas-kertas berserakan di lantai.
“Aduuh.. sori ya. Gue nggak liat.” katanya sambil memungut buku yang jatuh. Matanya melihat sebuah buku kecil bersampul hijau di bawah tangannya. Di depannya tertulis ‘POEM’.
“Ini buku puisi ya? Loe sendiri yang bikin?” tanya Agni. Anak itu kaget dan langsung menyambar buku di tangan Agni sebelum Agni membukanya. Anak itu langsung berlari.
“Kenapa sih? Gue kan cuma nanya.” katanya bingung. Saat hendak berdiri Agni melihat selembar kertas di lantai. ‘Pasti punya anak yang tadi.’ pikirnya. Agni mengambil kertas itu dan membaca isinya.
Bel istirahat berbunyi. Murid-murid langsung menghambur keluar kelas. Agni merapikan bukunya. Karena ini hari pertama masuk, jadi hanya diisi dengan perkenalan, tata tetib, dan hal-hal yang biasa dilakukan di hari pertama masuk kelas. Kelas 10-Z ini ternyata kelas anak-anak berbakat. Semua murid di kelas ini masuk dengan cara yang sama dengan Agni, yaitu bakat. Ada yang bisa balet, nyanyi, main drum, baca puisi, akting, bermain musik, dsb.
“Ag, ke kantin yuk! Laper nih..” ajak Gita. Gita adalah teman baru Agni yang secara nggak sengaja ketemu gara-gara sama-sama ‘nyasar’. Gita anak yang centil dan cerewet tapi jago nari balet. Agni sudah melihat tarian indahnya tadi saat disuruh mendemokan kemampuan masing-masing di depan kelas. Agni sendiri cuma mendemokannya dengan bermain gitar. Hasilnya? Banyak yang menyukai permainan gitarnya. Agni juga melihat anak yang tadi bertabrakan dengannya, namanya Rahmi. Anak yang pemalu, tapi sangat lantang dan penuh penghayatan ketika membaca puisi. Agni masih mencari waktu yang tepat untuk memberikan lembaran puisinya karena Rahmi agak tertutup di kelas.
Agni bangkit dan mengikuti Gita ke kantin. Dan ternyata.. rame banget!! Serasa ada di pasar.
“Biar cepet, gimana kalo gue cari meja, loe yang pesen makanannya.” kata Gita. Kalo dilihat dari situasi sih, emang bagusnya begitu.
“Oke deh.” dengan susah payah Agni berjalan melewati kerumunan murid. Setelah memesan makanan, ia pun kembali membawa nampan dengan 2 mangkok dan 2 gelas minuman. Karena ramai, Agni tersandung kaki salah seorang murid.
“Waaa..” tepat pada saat itu, ada yang menahannya sehingga ia tidak jatuh.
“Sini, biar gue bawain.” katanya.
“Thanks ya,” ketika Agni menoleh, ia langsung terdiam. “Cakka?”
“Kenapa? Loe ngeliatin gue kayak ngeliat hantu gitu?” Cakka membawa nampan dengan satu tangan sementara tangan yang lain memegang tangan Agni.
“Loe bawa nampannya aja, ntar jatoh.” kata Agni.
“Kalo gue nggak pegangin loe, ntar loe yang jatoh tau. Loe kan orangnya linglung.” kata Cakka, “lagian ini buat jaga-jaga biar loe nggak kabur lagi dari gue.” sambungnya. Setelah berhasil keluar dari keramaian, Cakka langsung menuju meja yang ada di pojok kantin dan menaruh nampan disana.
“Kenapa kesini, Cak?”
“Gue maunya disini, emang kenapa?”
“Tapi temen gue nungguin disana.” Agni nunjuk ke arah Gita yang duduk di meja tengah. Cakka berdiri, mengambil salah satu piring dan gelas lalu menyerahkannya ke Gita yang jelas kebingungan.
“Loe mau ngapain?” tanya Agni setelah Cakka balik.
“Kenapa nanya? Sebelumnya kita kan sering makan berdua tapi loe nggak pernah nanya apa-apa.” jawab Cakka santai.
“Kalo nggak ada yang penting, gue mau sama temen gue sekarang.” Agni berbalik. Cakka menangkap tangannya.
“Apa gue bukan temen loe?” katanya sambil menatap mata Agni serius. Melihatnya, Agni kaget juga. Cakka nggak pernah seserius ini sebelumnya.
“Gue mau minta maaf sama loe soal yang tadi pagi. Gue nggak bermaksud ngebentak loe kayak gitu. Gue tau loe pasti marah sama gue, makanya gue nyesel banget. Sori ya..” kata Cakka. Agni menunduk.
“Pliisss..??? Maafin gue ya?” Cakka memohon. Agni menghela napas lalu mengangguk. Cakka tersenyum senang.
“Thanks ya! Loe emang sahabat gue yang paliiiiingg baik!!”
“Iya, tapi lain kali jangan asal bentak dong. Gue sempet kesel tau!”
“Iya.. nah sekarang ayo makan. Sayang kalo nggak diabisin.” Cakka langsung menyuap satu sendok ke mulutnya.
“Eh, Cakka itu kan punya gue!! Beli sendiri sana!”
“Gue nggak bawa duit, ada di tas. Tadi pagi juga belom makan. Apalagi boncengin loe, berat tau! Jadi nggak apa-apa dong kalo gue minta.” katanya sambil menyuap sesendok lagi.
“Iya, tapi itu bukan minta namanya! Itu marukk!! Pake ngatain gue segala lagi! Jangan diabisin dong! Cakkaaaa!!!” teriak Agni sambil memukul-mukul Cakka.
“Aduuh.. sakit tau! Tenaga loe kan kebo, pelan dikit napa.” protes Cakka.
“Oiya, loe masuk kelas berapa?” tanya Agni.
“Kelas 10-B, loe pasti masuk kelas Z ya?” balas Cakka. Agni mengangguk.
“Kenapa kelas B? Gue kira loe bakal masuk kelas A.”
“Gue nggak mau, kebanyakan anak kelas A itu sombong karna mereka menganggap dirinya paling kaya. Nggak asik sekelas sama orang-orang kaya gitu.” jawab Cakka. Oiya, hampir lupa. Di sekolah ini tingkatan kelas bukan didasarkan pada nilai, tapi biaya. Kalau kelas A, berarti biaya mereka yang paling mahal. Mereka anak-anak konglomerat yang fasilitasnya pun serba ada. Kelas B dibawahnya, begitu selanjutnya sampai kelas Z, kelas yang paling bawah dimana penghuninya masuk dengan beasiswa keistimewaan bakat. Agni baru tahu itu waktu berkenalan dengan Gita.
Cakka menatap Agni.
“Kenapa loe? Keselek?” tanya Agni.
“Loe cakep juga pake seragam itu. Keliatan.. seksi.” katanya sambil melihat rok pendek Agni sambil tersenyum jail. Muka Agni memerah, Cakka tertawa dan menepuk pipi Agni.
“Gue paling suka kalo liat loe malu kayak gini. Pipi loe udah kayak tomat!” Agni mencubit Cakka pelan.
“Ngeres aja loe, kalo bukan seragam nggak bakal gue pake. Loe juga cocok pake seragam itu.” katanya sambil melihat seragam Cakka. Hampir sama dengannya, kemeja putih tangan panjang, celana panjang hitam, blus merah, dasi putih, sepatu pantofel. Cakka jadi terlihat gagah.
“Kenapa loe? Gue cakep ya?”
“Huuu!! Ge-er!” mereka kembali tertawa tanpa sadar kalau mereka diawasi.
“Wah, loe punya saingan nih.” kata Dayat.
“Iya, anak baru tapi lumayan juga.” kata Gabriel.
“Terus? Apa rencana loe?” tanya Dayat yang duduk di samping Rio. Gabriel menatap mereka lalu tersenyum. Rio hanya memandang Cakka dan Agni dari kejauhan.
Cakka dan Agni berjalan menuju kelas. Saat sedang ngobrol, Agni melihat seorang cewek sedang dijahili oleh senior. Agni berhenti.
“Jangan ikut campur, deh.” kata Cakka.
“Sejak kapan loe bisa baca pikiran?”
“Sejak gue belajar ngerti isi kepala loe! Udah, biarin aja. Kalo loe ikut campur, bisa-bisa loe yang kena masalah. Loe kan udah kayak magnet pembawa masalah. Kalo loe kenapa-napa gue juga yang repot..” Cakka menoleh ke samping tapi Agni sudah menghilang.
“Loh? Ag..” Cakka melihat Agni sudah berdiri disana, membela cewek yang tadi dijahili. Cakka menepuk jidatnya.
“Duh, harusnya tadi gue iket aja tuh anak.”
“Loe berani ngelawan gue? Loe tuh anak baru, kelas Z lagi! Belum apa-apa juga paling nangis.” kata Sivia.
“Maaf kak, tapi Agni cuma tanya apa salah Rahmi sampai kakak ngejahilin dia. Harusnya kakak bisa bedain yang namanya nanya sama ngelawan.” kata Agni tenang. Rahmi berdiri di belakangnya. Sivia yang seperti diberi tamparan di mukanya kesal.
“Pukul aja, Siv! Pukul! Biar tau rasa tuh anak baru!” teriak Shilla.
“Duh, udah dong.. jangan gitu. Mereka kan nggak tau apa-apa..” kata Angel. Shilla mendorong Angel.
“Aah.. lemah loe! Mendingan pulang aja loe sana! Nggak usah lagi bareng kita!” Angel hanya bisa menunduk diam. Tangan Sivia sudah hampir mendarat di muka Agni saat seseorang mencegahnya. Sivia menoleh.
“Apa-apaan sih, loe?!”
“Sori, tapi itu bukan sikap yang baik untuk ditunjukkan pada junior.” Gabriel menyela. Sivia langsung diam. Cakka yang ngeliat Gabriel tiba-tiba disitu langsung menghampiri Agni. ‘Ngapain lagi sih, tuh orang?’
“Loe nggak usah sok ngebelain dia, deh!” kata Shilla.
“Loe mau pergi sendiri atau dianterin guru BP?” kata Gabriel tenang.
“Tapi Yel, gue cuma...” Sivia baru akan membalas ketika dia melihat Cakka berlari ke arah mereka.
“Ag, loe nggak apa-apa kan?” tanya Cakka yang langsung menatap Gabriel sinis. Gabriel menyadari hal itu.
“Nggak kok, loe kenapa ngos-ngosan gitu?” tanya Agni.
“Dia nggak apa-apa kok, iya kan?” Gabriel tersenyum pada Agni. Agni membalas senyumannya. Cakka menatapnya dengan kesal. “Nah, sekarang loe ikut gue ke ruang BP.” kata Gabriel pada Sivia.
“Tapi kan..”
“Nggak ada tapi-tapian, loe ikut gue.” jelas Gabriel.
“Udah hampir bel, nih Ag! Masuk aja yuk!” Cakka menggandeng tangan Agni di depan orang-orang dan pergi. Agni hanya menurut. Gabriel mengawasi mereka dengan perasaan dongkol.
“Loe bener mau bawa gue ke ruang BP?” tanya Sivia.
“Loe selalu aja bikin masalah.”
“Apa loe tega ngeliat sobat loe yang cantik, putih, imut, dan jadi Ratu di sekolah ini dihukum sama guru? Ntar kalo gue dijemur, kulit gue bisa-bisa jadi item, kering, jelek. Bisa-bisa nanti ada yang lebih cantik di sekolah ini dari pada gue.” katanya manja. Gabriel mencibir dan pergi meninggalkan Sivia, Shilla dan Angel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar